Silaturahmi

Kata “rahm” (peranakan), “rahim” (kerabat), dan “rahmah” (rahmat) sama-sama berhulu ke akar kata “rahima-yarhamu” yang arti dasarnya adalah “menaruh kasihan” atau “menyayangi”.

Peranakan wanita disebut “rahm” karena bayi yang ada di dalamnya adalah titik di mana belas kasih seorang ibu dicurahkan. Kerabat disebut “rahim” karena mereka berasal dari peranakan yang sama. Kedua kata ini pun, “rahm” dan “rahim”, bisa dipakai untuk arti yang sama, yaitu “peranakan”.

Adapun kata “rahmah” yang sering diartikan dengan “rahmat” itu, maka maknanya, menurut Syaikh ar-Rāghib al-Ashfahānī, adalah “riqqatun taqtadhīl ihsāna ilāl marhūm” atau “belas kasih yang akan mendorong dilakukannya perbuatan ihsān kepada pihak yang dikasihi”.

Apa itu ihsān?

Seseorang disebut berlaku adil jika ia “memberi dan menerima dalam kadar yang sama banyaknya”. Jika ia mampu “memberi dalam kadar yang lebih banyak dari kadar yang diterima”, maka itulah, antara lain, makna ihsān. Berbuat ihsān adalah melakukan kebaikan yang bobotnya di atas rata-rata. Ihsān adalah amal saleh yang levelnya di atas keadilan.

Berlaku adil tidaklah mudah. Demikian tak mudahnya sampai-sampai Allah memberi kita peringatan: jangan sampai kebencian kita kepada satu kaum mendorong kita berlaku tak adil.

Jika berlaku adil saja demikian sulitnya, apalagi berlaku ihsān. Padahal, berlaku ihsān adalah pesan terpenting dari perintah silaturahmi dan “syarat” bagi diraihnya pahala silaturahmi. Tak heran jika Nabi saw. menjanjikan adanya dampak dasyat di balik silaturahmi: “bertambahnya” umur dan diluaskannya rezeki. Dan, tak heran pula jika Allah swt. sangat menyukai para pelaku ihsān ini. Innallāha yuhibbul muhsinīn.

Karena itu, jika ihsān adalah level amal saleh yang belum mampu kita dilakukan, maka kita, setidaknya, selalu berlaku adil. Berlaku adil akan lebih mendekatkan kita kepada takwa.

Dengan kata lain, jika menyambung silaturahmi –yang menuntut dilakukannya perbuatan ihsān itu– belum mampu kita lakukan, maka kita, setidaknya, mencegah putusnya silaturahmi yang sudah terjalin sebelumnya.

Caranya? Selalu berlaku adil!

Mari kita penuhi hak-hak orang lain sebagaimana kita ingin mereka memenuhi hak-hak kita. Mari kita penuhi hak-hak orang tua kita, hak-hak pasangan kita, hak-hak anak-anak kita, hak-hak kerabat kita, tetangga, sahabat, dan seterusnya.

Wallāhu a’lam…

(Iqbal Harafa)

———-

Minggu, 8 Januari 2017

Silaturahmi Wali Santri, Pesantren Daarul Uluum, Kampus 1, Kota Bogor, Ahad, 8 Januari 2017.

———-

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *