Ramadhan

Ramadhān adalah bulan yang penamaannya, sebagaimana bulan-bulan lain dalam kalender hijrah, sudah dikenal oleh masyarakat Arab sebelum kedatangan Islam.

Istilah “ramadhān” berhulu ke kata dasar “ramidha” yang artinya “panas”, “terik”, atau “membakar”. Disebut “ramadhan” karena matahari di jazirah Arab, pada bulan itu, di masa lalu, bersinar sangat terik dan terasa membakar kulit. Cuaca menjadi sangat panas dan memayahkan tubuh.

Istilah “ramadhān” pun dapat berhulu ke kata dasar “ramadha” yang artinya “mengasah”. Disebut “ramadhan” karena orang-orang Arab, pada bulan itu, di masa lalu, mengasah senjata-senjata yang mereka miliki untuk menghadapi peperangan.

Islam, kemudian, datang, memberi makna baru, ruh baru, dan pesan baru yang lebih dalam: Ramadhān adalah bulan yang telah dipilih Allah untuk mendapatkan kedudukan paling istimewa di hadapan-Nya dibandingkan dengan bulan-bulan lain. Keistimewaan itu terletak pada, antara lain, dilingkupkannya “barakah” di seluruh bagian waktunya sehingga siang-siang di sepanjang bulan ini adalah siang-siang yang diberkahi dan malam-malam di sepanjang bulan ini adalah malam-malam yang diberkahi.

Apakah yang dimaksud dengan “diberkahi”? “Barakah” adalah “numuwwun wa ziyādatun” (pertumbuhan dan pertambahan). Al-Imām an-Nawawi memaknainya sebagai “ziyādah al-khair” (tambahan kebaikan) dan Al-‘Ashfahānī memaknainya sebagai “tsubūt al-khair al-ilāhī fí asy-syay’i” (menetap, melekat, atau menggenangnya kebaikan ilāhī, kebaikan sejati yang bersumber dari Allah, pada sesuatu).

Sesuatu disebut diberkahi jika kebaikan sejati yang bersumber dari Allah ditambahkan, berhimpun, lalu menetap padanya sebagamana berhimpun dan menetapnya air di dalam sebuah kolam. Inilah sebab mengapa kata “kolam” dalam bahasa Indonesia disebut “birkah” dalam bahasa Arab. “Birkah” dan “barakah” adalah dua kata yang memiliki arti dasar yang sama.

Kebaikan sejati yang bersumber dari Allah inilah yang menggenang secara tetap di seluruh sudut waktu sepanjang bulan Ramadhan.

Allah swt., selanjutnya, membukakan kesempatan seluas-luasnya, bagi kita, para hamba-Nya, untuk dapat menciduk sebagian air barakah yang menggenangi seluruh sudut bulan Ramadhān itu dengan cara mengasah diri melalui puasa: berpayah-payah menahan lapar yang merajam lambung, menahan dahaga yang mengeringkan dan memanaskan tengggorokan, dan menahan hasrat biologis. Semua tindakan menahan itu harus dilakukan semata-mata karena Allah, semata-mata wujud kepatuhan kepada dan ketundukkan atas perintah-Nya.

Pengasahan diri melalui puasa itu, selanjutnya, disempurnakan dengan menjadikan seluruh anggota tubuh agar turut pula berpuasa: mata dipuasakan dari segala hal yang tak halal ditatap, lidah dipuasakan dari kebiasaan berucap kotor, tangan dipuasakan dari segala hal yang haram diambil, telinga dipuasakan dari segala hal yang tak patut didengar.

Penyempurnaan puasa dilakukan pula dengan cara meningkatkan segala bentuk penghambaan diri kepada Allah di sepanjang bulan Ramadhān, baik kualitas maupun kuantitas, vertikal maupun horizontal, ritual maupun sosial.

Maka…

Kesempatan istimewa ini, semoga, mampu kita manfaatkan sebaik-baiknya. Takkan ada seorang pun dari kita yang mengetahui: akankah kesempatan istimewa serupa masih akan kita dapatkan di masa depan.

Kegembiraan dan kesukacitaan menyambut Ramadhan, semoga, kita rasakan sebagaimana gembira dan suka citanya para sahabat ketika Rasulullah saw., di satu penghujung bulan Sya’ban, mendatangi mereka, lalu bersabda: “Ramadhān, bulan yang diberkahi itu, telah mengunjungi kalian”.

Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb.

Marhaban, Ramadhanku!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *