Akhlāq (1)

LATIHAN JIWA, PEMBERSIHAN AKHLĀQ, DAN PENGOBATAN PENYAKIT-PENYAKIT HATI

الْحَمْدُ للهِ الَّذِي صَرَفَ الْأُمُوْرَ بِتَدْبِيْرِهِ، وَعَدَّلَ تَرْكِيْبَ الْخَلْقِ، فَأَحْسَنَ فِي تَصْوِيْرِهِ، وَزَيَّنَ صُوْرَةَ الْإِنْسَانِ بِحُسْنِ تَقْوِيْمِهِ وَتَقْدِيْرِهِ، وَحَرَسَهُ مِنَ الزِّيَادَةِ وَالنُّقْصَانِ فِي شَكْلِهِ وَمَقَادِيْرِهِ

(Segala puji bagi Allah yang telah mendistribusikan), yaitu memindah-mindah dan membolak-balik, (berbagai urusan dengan pengaturan-Nya), yaitu perbuatan sebaik-baiknya, hal mana makna asal dari “tadbīr” adalah mencermati akibat akhir dari setiap perkara, (menyeimbangkan susunan ciptaan ini), yaitu menempatkan segala unsur pembangun ciptaan ini agar berada pada posisinya yang sesuai, (dan menjadikan baik tampilannya, menghiasi tampilan manusia), yaitu di antara ciptaan lainnya, (dengan pembentukan), yaitu penyeimbangan, (dan penetapan kadar yang baik), yaitu pembatasan ciptaan itu sesuai dengan batasan-batasannya, (mencegah manusia itu dari kelebihan dan kekurangan pada bentuk dan ukurannya) sehingga Allah swt. pun menjadikan manusia, secara jasmani, berada dalam kadar yang khusus dan bentuk yang khusus yang di dalamnya terkandung hikmah abadi.

وَفَوَّضَ تَحْسِيْنَ الْأَخْلَاقِ إِلَى اِجْتِهَادِ الْعَبْدِ وَتَشْمِيْرِهِ، وَاسْتَحْثَهُ عَلَى تَهْذِيْبِهَا بِتَخْوِيْفِهِ وَتَحْذِيْرِهِ، وَسَهَّلَ عَلَى خَوَاصِ عِبَادِهِ تَهْذِيْبَ الْأَخْلَاقِ بِتَوْفِيْقِهِ وَتَيْسِيْرِهِ، وَامْتَنَّ عَلَيْهِمْ بِتَسْهِيْلِ صَعْبِهِ وَعَسِيْرِهِ

(menguasakan pembaikan akhlāq), yaitu penyeimbangannya, (kepada usaha sungguh-sungguh seorang hamba dan penyegeraannya), hal ini menunjukkan bahwa khuluq bukanlah gharīzah [tabiat, insting, watak], (mendorong hamba itu ke pembersihan akhlāq dengan penyampaikan berita menakutkan dan peringatan dari-Nya), yaitu melalui lisan Rasul-Nya saw., (memudahkan upaya hamba-hamba-Nya), yaitu mereka yang dikhususkan Allah dengan pertolongan-Nya, cinta-Nya, dan penyucian mereka agar dapat dekat dengan-Nya (dalam pembersihan akhlāq itu), yaitu dengan mengilhami mereka jalan menuju mujahādah yang di dalamnya ada ‘ināyah Allah kepada mereka, (dengan taufik dan kelapangan dari-Nya, dan mengaruniakan kepada mereka kemudahan atas kesulitan dan kesempitannya).

وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ عَبْدِ اللهِ وَنَبِيِّهِ وَحَبِيْبِهِ وَصَفِيِّهِ وَبَشِيْرِهِ وَنَذِيْرِهِ، الَّذِي كَانَ يُلَوِّحُ أَنْوَارَ النُّبُوَّةِ مِنْ بَيْنَ أَسَارِيْرِهِ، وَيَسْتَشْرِفُ حَقِيْقَةَ الْحَقِّ مِنْ مَخَايِلِهِ وَتَبَاشِيْرِهِ

(Shalawat) yang sempurna (dan salam terlimpah kepada) junjungan kita, yaitu (Muhammad, hamba Allah), hal mana ‘abdullāh adalah nama beliau saw. yang paling mulia, (juga nabi-Nya) yang diutus oleh-Nya, (insan yang mengasihi dan kekasih-Nya) yang mendapat kekhususan dari-Nya, (insan pilihan-Nya) di antara nabi-nabi-Nya yang mulia, semoga salam terlimpah kepad mereka, (penyampai kabar menggembirakan dari-Nya, penyampai kabar menakutkan dari-Nya), berupa keadilan dari-Nya berupa pahala dan siksa, (yang senantiasa memancarkan), yaitu menampakkan, (cahaya-cahaya kenabian) yang bersinar itu (dari) lubang-lubang (rahasia-rahasia-Nya), yaitu batas-batas bulannya, hal mana siapapun yang pandangannya mengarah ke bulan itu, lalu sehingga cahaya bulan itu mengenainya, maka ia akan bersegera mengimani dan membenarkan apa yang dengannya beliau saw. datang, (dan yang yang selalu menegakkan), yaitu menampakkan, (kemuliaan hakikat kebenaran), yaitu penjelasan tentang dzat kebenaran itu dan asal-usulnya, (dari tempatnya), yaitu dari tempat ia diduga datang, (dan permulaannya), yaitu apa yang tampak dari apa yang sudah tampak.

AL-Imām al-Ghazālī menunjukkan bahwa kebenaran kenabian dapat diketahui oleh akal maupun rasa. Yang pertama dapat diketahui oleh orang-orang bijak [dzū al-bashāir] dari kalangan orang-orang shiddīq dan orang-orang seperti mereka. Yang kedua dapat diketahui oleh para pengamat [ūlū al-abshār) dari kalangan umum.

Tegas bahwa Nabi diciptakan dari tanah paling mulia di alam ini, hal mana akal beliau pun menjadi sempurna. Beliau pun tercipta dari unsur mulia. Beliau memancarkan cahaya yang menggetarkan siapapun yang menatapnya dan memiliki akhlak yang membuat nyaman siapapun yang berinteraksi dengannya. Ucapan beliau selalu memiliki hujjah, jelas, dan menenangkan pendengarnya jika ia dianugerahi keistimewaan berupa cahaya akal.

Orang yang bijak [dzū al-bashīrah], jika mendapatkan cahaya ini, maka ia takkan membutuhkan dan takkan menuntut mukjizat sebagaimana para nabi tak menuntutnya dari para malaikat atas apa yang mereka sampaikan. Nabi kita saw., tegas, adalah yang paling mulia di antara para nabi dan paling baik dari mereka dalam sifat-sifat ini sejak asalnya. Maka, tidaklah seorang pun melihat beliau kecuali ia akan mengikrarkan pembenarannya dan ia tahu bahwa beliau berada di atas kebenaran tanpa menimbang-nimbang lagi.

وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ طَهَّرُوا وَجْهَ الْإِسْلَامِ مِنْ ظُلْمَةِ الْكُفْرِ وَدَيَاجِيْرِهِ، وَحَمَسُوا مَادَّةَ الْبَاطِلِ فَلَمْ يَتَدَنَّسُوا بِقَلِيْلِهِ وَلَا بِكَثِيْرِهِ

(juga kepada keluarganya dan sahabatnya yang telah menyucikan wajah Islam dari kekafiran dan kepekatan-kepekatannya, dan membakar), yaitu memberantas, (yang bathīl), yaitu apa yang muncul dari yang bāthil, hal mana “bāthil” adalah apa yang takkan diberikan pahala untuknya dari perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan, hal mana “bāthil” merupakan lawan dari “haq”, (sehingga mereka tidak tercemar olehnya, sedikit ataupun banyak), yaitu tidak terikat dengan kebatilan itu, bahkan mereka menjadi sebab dari pemastian kebatilan itu dan penghilangannya.

أَمَّا بَعْدُ، فَالْخُلُقُ الْحَسَنُ صِفَةُ سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ، وَأَفْضَلُ أَعْمَالِ الصِّدِّيْقِيْنَ

(Ammā ba’du. Maka, khuluq yang baik adalah sifat sang junjungan para rasul), yaitu Nabi Muhammad saw., (dan amal paling utama orang-orang shiddīq), yaitu setelah iman kepada Allah swt. sebagaimana akan dijelaskan nanti.

Ketahuilah bahwa “khuluq” adalah kondisi permanen [di dalam jiwa] yang darinya lahir berbagai perbuatan secara mudah tanpa berpikir dan menimbang. Jika lahir dari kondisi itu perbuatan-perbuatan baik, baik menurut syariat maupun menurut akal, maka kondisi itu disebut khuluq yang baik. Jadi, khuluq bukanlah sebutan untuk satu perbuatan. Banyak orang yang khuluqnya dermawan [as-sakhā’] namun ia tak berderma karena ketiadaan harta atau karena suatu halangan. Tidak pula disebut khuluq jika kondisi itu tidak permanen di dalam jiwanya.

Khuluq yang baik sebagai sifat Nabi saw., maka akan ada penjelasan tentang soal itu di bagian pembahasan tentang keutamaan Nabi saw.

———-

Diterjemah oleh Al-Ustādz Iqbal Harafa, dari Ithāf as-Sādah al-Muttaqīn fī Syarh ihyā’ ‘Ulūmiddīn, Muhammad Bin Muhammad al-Ghazālī dan Muhammad Bin Muhammad al-Husainī az-Zabidī.

———-

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *