Nabi Ibrahim as. (20)

KENABIAN IBRAHIM AS.

Kegelisahan Ibrahim as. terhadap kesesatan agama masyarakatnya telah tumbuh sejak masa kanak-kanak.

Al-KhathIb al-Baghdadi, misalnya, menyampaikan apa yang diriwayatkan oleh al-Kalabi bahwa suatu hari, terjadi dialog antara Ibrahim as. kecil dengan ibunya: “Siapakah Tuhan Pemeliharaku?,” tanya Ibrahim as. “Aku!,” jawab sang ibu. “Lalu, siapa Tuhan Pemeliharamu (ibu)?,” tanya Ibrahim as. “Ayahmu!,” jawab sang ibu. “Lalu, siapa Tuhan Pemelihara dia (ayahku)?, tanya Ibrahim as.” “Raja Namrud!,” jawab sang ibu. “Lalu, siapa Tuhan Pemelihara Namrud?,” tanya Ibrahim as. “Diamlah Engkau!,” bentak sang ibu, “Raja Namrud adalah tuhan pemelihara paling agung. Tidak ada tuhan lagi di atasnya. “Apakah wajahku lebih elok dari wajahmu, ibu?,” tanya Ibrahim as. lagi. “Tentu saja engkau (lebih elok),” jawab sang ibu. “Lalu, apakah wajahmu (ibu) lebih elok dari wajah ayahku?,” tanya Ibrahim as. “Tentu saja aku (lebih elok),” jawab sang ibu. “Lalu, apakah wajah ayahku lebih elok dari wajah raja?,” tanya Ibrahim as. “Tentu saja ayahmu (lebih elok),” jawab sang ibu. Mendengar jawaban sang ibu, Ibrahim as. berkata: “Wahai ibu, jika raja adalah yang menciptakan ayahku, maka dia tidak akan menciptakannya lebih elok dari dirinya sendiri. Jika ayahku adalah yang menciptakanmu, maka ia tidak akan menciptakanmu lebih elok dari dirinya sendiri. Demikian pula engkau tidak akan menciptakanku lebih elok dari dirimu sendiri.”

Sang ibu terdiam dan tidak mampu memberi sanggahan. Ia pun meninggalkan Ibrahim as., lalu menemui suaminya, Azar atau Tarih. Kepada sang suami, ia menyampaikan tanya jawab itu, juga kekhawatirannya jika Ibrahim as., kelak, akan merubah kepercayaan yang dianut orang-orang ketika itu. Mendengar pengaduan istrinya, Azar pun marah, lalu mencari Ibrahim as. dengan maksud menindaknya. Namun, atas kuasa Allah, timbul rasa kasih dalam hati Azar sehingga ia mengurungkan niat buruknya.

Seperti telah dijelaskan bahwa, menurut Rusydi al-Badrawi, Ibrahim as. lahir di Ur, Kaldan. Ayahnya, Tarih atau Azar, adalah perajin patung yang ahli. Ia sering mendapat pesanan membuat patung-patung tuhan berhala. ‘Abdul Hamad Jaudah as-Sahhar, misalnya, menerangkan bahwa raja Babel saat itu pernah memerintahkan Tarih, melalui utusannya, untuk membuat patung dewa Mardukh, dewa sesembahan terbesar mereka.

Suatu ketika, ia melihat ayahnya membuat patung tuhan berhala dari kayu. Wujudnya dibuat mirip dengan manusia. Namun, bagian kedua kuping patung itu dibuat besar. Saat Ibrahim as. bertanya mengapa kuping patung itu besar, ayahnya menjawab bahwa kuping yang besar menandakan bahwa tuhan berhala itu memiliki pengetahuan yang dalam!

Saat beranjak dewasa, semakin sering Ibrahim as. melihat bagaimana ayahnya mencari kayu atau melebur patung-patung besi yang sudah ada untuk dibuat patung lain. Seringkali ia duduk di samping ayahnya, menyalakan tungku api.

Suatu hari, demikian tulis al-Khathib al-Baghdadi, Ibrahim as. diperintahkan ayahnya untuk menjual sejumlah patung dewa buatannya ke pasar. Ia mengikat patung-patung itu dan memanggulnya. Dalam perjalanan ke pasar, ia menawarkan kepada orang-orang: “Siapakah yang mau membeli benda-benda yang tidak akan mencelakan dan juga tidak berguna ini?” Cara Ibrahim as. menawarkan dagangannya itu membuat orang-orang enggan membeli. Akhirnya, ia membawa pulang kembali patung-patung itu. Di perjalanan, ia singgah di sebuah sungai, lalu menceburkan kepala patung-patung itu ke dalam air sambil berkata: “Minumlah air ini!”

Di malam hari, Ibrahim as. bangun dan menyaksikan bagaimana serangga-serangga malam masuk ke lubang kuping atau mata patung-patung itu. Mereka tidak berdaya sedikitpun untuk menghalau hewan-hewan itu. Muncul rasa heran bagaimana benda-benda yang tidak dapat melindungi dirinya sendiri itu malah menjadi tumpuan terkabulnya harapan orang-orang. Mereka, bahkan, ruku dan sujud di hadapannya. Rasa heran pun muncul pada diri Ibrāhīm as. saat melihat bagaimana patung-patung yang tidak bernyawa dan tidak mampu bergerak itu malah diyakini sebagai tuhan. Ke mana gerangan lenyapnya kemampuan berpikir dan perenungan orang-orang terhadap hakikat sangat mendasar itu?

Di malam hari, Ibrahim as. menatap bintang-bintang itu. Dalam dirinya, tumbuh pertanyaan: Inikah tuhan yang diseru oleh kaumnya itu? Saat ia melihat bintang-bintang itu lenyap, pertanyaan lain muncul dalam hatinya: mampukah bintang-bintang itu mempertahan diri mereka di langit sehingga mereka tidak perlu tenggelam? Jawabannya adalah: Tidak! Tuhan wajib memiliki kekuasaan untuk melakukan apapun yang dikehendakinya.

Di malam lain, Ibrahim as. menatap bulan purnama dengan sinar cahayanya. Dalam dirinya, tumbuh pertanyaan: Inikah tuhan yang diseru dan disembah oleh kaum itu? Namun, sesaat kemudian, bulan purnama itupun ternyata lenyap. Di waktu lain, Ibrāhīm as. menyaksikan bulan sabit muncul di ketinggian, lalu semakin membulat dari waktu ke waktu hingga menjadi bulan purnama. Selanjutnya, bulan purnama itu kembali menyabit dari hari ke hari sehingga, akhirnya, lenyap. Ibrāhīm as. mengamati bagaimana rotasi bulan itu terus terjadi berulang-ulang. Ia pun menyadari bahwa rotasi bulan itu adalah sesuatu yang sudah diatur.

Di siang hari, Ibrahim as. melihat matahari; benda langit yang jauh lebih besar dari bulan dan bintang. Matahari itu memancarkan cahaya yang sangat kuat dan panas yang sangat hebat. Pikirannya berputar: jika ada benda langit yang menjadi tuhan, maka tuhan itu seharusnya adalah matahari. Namun, benda langit itu pun, lagi-lagi, tenggelam di barat. Perlahan-lahan, cahayanya menguning, lalu lenyap sama sekali. Rotasi matahari itu disaksikannya terjadi secara tetap dan terus menerus.

وَكَذٰلِكَ نُرِيْٓ اِبْرٰهِيْمَ مَلَكُوْتَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَلِيَكُوْنَ مِنَ الْمُوْقِنِيْنَ

Dan demikianlah kami perlihatkan kepada Ibrahim kerajaan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) supaya dia termasuk orang-orang yang mantap keyakinannya.

(Al-An’ām: 75).

فَلَمَّا جَنَّ عَلَيْهِ الَّيْلُ رَاٰ كَوْكَبًا ۗقَالَ هٰذَا رَبِّيْۚ فَلَمَّآ اَفَلَ قَالَ لَآ اُحِبُّ الْاٰفِلِيْنَ

Ketika malam telah menjadi gelap, dia (Nabi Ibrahim as.) melihat sebuah bintang, (lalu) dia berkata: “Inilah Tuhan Pemeliharaku.” Tetapi ketika bintang itu tenggelam, dia berkata: “Aku tidak suka (mempertuhan) yang tenggelam.

(Al-An’ām: 76).

فَلَمَّا رَاَ الْقَمَرَ بَازِغًا قَالَ هٰذَا رَبِّيْ ۚفَلَمَّآ اَفَلَ قَالَ لَىِٕنْ لَّمْ يَهْدِنِيْ رَبِّيْ لَاَكُوْنَنَّ مِنَ الْقَوْمِ الضَّاۤلِّيْنَ

Kemudian ketika dia melihat bulan terbit, dia berkata: “Inilah Tuhan Pemeliharaku.” Tetapi ketika bulan itu terbenam, dia berkata: “Jika Tuhan Pemeliharaku benar-benar tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang sesat.

(Al-An’ām: 77).

فَلَمَّا رَاَ الشَّمْسَ بَازِغَةً قَالَ هٰذَا رَبِّيْ هٰذَآ اَكْبَرُۚ فَلَمَّآ اَفَلَتْ قَالَ يٰقَوْمِ اِنِّيْ بَرِيْۤءٌ مِّمَّا تُشْرِكُوْنَ

Kemudian ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhan Pemeliharaku, ini yang lebih besar,” maka ketika matahari itu tenggelam, dia berkata, “Hai kaumku! Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.

(Al-An’ām: 78).

اِنِّيْ وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ حَنِيْفًا وَّمَآ اَنَا۠ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَۚ

Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku (seluruh jiwa raga dan totalitas) kepada Yang menciptakan langit dan bumi dengan kecenderungan kepada agama yang benar, dan bukanlah aku termasuk golongan orang-orang musyrik.”

(Al-An’ām: 79).

Al-Khathib al-Baghdadi menerangkan bahwa Ibrāhīm as., pada masa perenungan-perenungan ini, mengalami apa yang disebut dengan al-mi’rāj, namun bukan dalam pengertian naik ke langit. Allah, ketika itu, memerintahkan Ibrahim as. naik ke atas sebuah bukit tinggi. Lalu, Allah mengangkat atap-atap yang menutup langit sehingga Ibrāhīm as. dapat melihat apa yang ada di langit dan apa yang ada di atasnya. Ia dapat pula melihat ‘Arsy, bahkan dapat melihat tempat dan kedudukannya di surga kelak. Selanjutnya, Allah menyibakkan pula tanah-tanah yang menutup bumi sehingga Ibrahim as. dapat melihat apa yang ada di bawahnya.

Sumber lain, masih menurut al-Khathib al-Baghdadi, menyebutkan bahwa Ibrahim as. hanya melihat segala keajaiban di atas bumi hingga ke atap langit dunia. Allah tidak memperlihatkan kepadanya apa yang ada di atas langit dunia dan apa yang ada di bawah permukaan bumi.

Mujahid, ‘Atha, dan as-Sadi menyampaikan lagi riwayat lain bahwa Ibrahim as., ketika itu, betul-betul naik bermi’raj ke langit. Dan, selama bermi’raj itu, Ibrahim as. melihat berbagai penampakan luar biasa dan menakjubkan. Saat melempar pandangan ke hamparan bumi di bawah, misalnya, Ibrahim as. melihat seorang pria yang sedang meniduri wanita pelacur dan melihat seorang pria yang sedang mencuri. Atas doa Ibrahim as., pria-pria itu dibinasakan Allah swt.

Demikianlah, Allah swt. telah menganugerahi Ibrahim as., sejak usia dininya, ketajaman berpikir dan kecerdasan akal. Semua itu menghantarkannya ke kemampuan menyimpulkan hakikat-hakikat yang ada di balik semua yang diamatinya. Itu adalah bentuk penjagaan Allah swt. dan hidayah dari-Nya atas diri Ibrāhīm as.:

وَلَقَدْ اٰتَيْنَآ اِبْرٰهِيْمَ رُشْدَهٗ مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا بِهٖ عٰلِمِيْنَ

Dan (demi keagungan dan kekuasaan Kami), sungguh Kami telah menganugerahkan kepada Ibrahim hidayahnya yang sempurna (masa kedatangan Nabi Musa as. dan Nabi Harun as.), dan adalah Kami Maha Mengetahui (segala keadaan)-nya.

(Al-Anbiyā: 51).

Penjagaan dari Allah swt. itu terus berlangsung hingga, ketika tiba waktunya, Ibrāhīm as. pun diangkat menjadi nabi dan diutus sebagai Rasul:

اِنَّ اللّٰهَ اصْطَفٰىٓ اٰدَمَ وَنُوْحًا وَّاٰلَ اِبْرٰهِيْمَ وَاٰلَ عِمْرَانَ عَلَى الْعٰلَمِيْنَۙ

Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran atas umat-umat.

(Al-‘Imrān: 33).

وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا نُوْحًا وَّاِبْرٰهِيْمَ وَجَعَلْنَا فِيْ ذُرِّيَّتِهِمَا النُّبُوَّةَ وَالْكِتٰبَ فَمِنْهُمْ مُّهْتَدٍۚ وَكَثِيْرٌ مِّنْهُمْ فٰسِقُوْنَ

Dan demi (keagungan dan kekuasaan Kami), sungguh kami telah mengutus Nuh dan Ibrahim dan Kami jadikan pada keturunan keduanya kenabian dan (Kami anugerahkan kepada mereka) al-Kitab (Zabur dan Taurat), maka di antara (anak cucu) mereka ada yang menerima pentunjuk dan banyak di antara mereka fasik (keluar dari ketaatan kepada Allah swt.).

(Al-Hadīd: 26).

Menurut Rusdi al-Badrawi, tidak ada sumber-sumber yang secara jelas menerangkan bagaimana wahyu Allah swt. turun kepada Ibrahim as. Apakah ia turun melalui Jibrīl? Apakah prosesnya sama dengan saat ia turun kepada Muhammad saw.? Tidak seorang pun mengetahuinya dan tidak ada satu riwayat pun yang menerangkannya. Tidak pula ada riwayat shahih yang menerangkan pada usia berapa Ibrahim as. diangkat sebagai nabi. Perkiraan waktu pengangkatannya menjadi nabi hanya dapat disimpulkan berdasarkan kaidah umum yang menegaskan bahwa seseorang diangkat Allah swt sebagai nabi hanya ketika betul-betul telah dewasa dan usianya telah mencapai empat puluh tahun:

حَتّٰىٓ اِذَا بَلَغَ اَشُدَّهٗ وَبَلَغَ اَرْبَعِيْنَ سَنَةًۙ

“sehingga apabila dia telah dewasa dan mencapai empat puluh tahun,”

(Al-Ahqāf: 15).

Kaidah ini dapat menjadi sandaran bahwa Ibrahim as. telah berusia empat puluh tahun ketika ia menjadi nabi dan tugas kerasulan diembankan Allah swt. kepadanya.

Berkaitan dengan masalah ini, Ibnu Katsir menyampaikan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Jarar Bin ‘Abd al-Hamid dari Ibni ‘Abbas bahwa:

مَا بَعَثَ اللهُ نَبِيًّا إِلَّا شَابًا

“Allah tidak membangkitkan seorang nabi kecuali ia telah menjadi dewasa (syāb).”

Ada sejumlah pihak yang menduga bahwa Ibrahim as. telah menjadi Nabi sejak usia kanak-kanaknya. Dugaan ini didasarkan kepada perkataan kaumnya sebagaimana diabadikan dalam al-Qur’an:

قَالُوْا سَمِعْنَا فَتًى يَّذْكُرُهُمْ يُقَالُ لَهٗٓ اِبْرٰهِيْمُ

Mereka berkata: “Kami dengar ada seorang pemuda yang menyebut-nyebut (mencela dan menghina) mereka (tuhan-tuhan kita) yang bernama Ibrāhīm.  

(Al-Anbiyā: 60).

Menurut Ibnu Katsir, kata “fatā” yang berarti pemuda sebagaimana tersebut lebih tepat dimaknai sebagai perendahan atas sosok Ibrahim as., bukan dimaknai bahwa ia, ketika itu, masih kanak-kanak. Selain dari itu, seorang rasul memang seyogyanya seseorang yang sudah dewasa. Seruan seseorang yang sudah berusia 40 tahun akan jauh lebih efektif dari seruan seorang anak kecil.

Demikianlah, Allah swt. telah memilih Ibrahim as. sebagai nabi dan rasul-Nya dengan tugas suci mengeluarkan kaumnya dari kesesatan. Keluarganya sendiri adalah pihak yang pertama di serunya. Azar atau Tarih, ayahnya, diajaknya beriman kepada Allah swt. dengan lembut.

Ajakan Ibrahim as. tidak disambut oleh ayahnya sebagaimana yang diharapkan. Ia pun menyeru kaumnya, mengingatkan mereka bahwa patung-patung berhala itu tidak dapat mendengar, memberi manfaat, atau membahayakan mereka sedikitpun. Namun, jawaban mereka  tidak seperti yang diharapkannya.

Berikut uraian al-Qur’àn tentang bagaimana upaya keras yang dilakukan Ibrahim as. untuk meyakinkan ayah dan kaumnya atas kesasatan mereka:

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَاَ اِبْرٰهِيْمَ ۘ؛ اِذْ قَالَ لِاَبِيْهِ وَقَوْمِهٖ مَا تَعْبُدُوْنَ؛ قَالَ هَلْ يَسْمَعُوْنَكُمْ اِذْ تَدْعُوْنَ ۙ؛ اَوْ يَنْفَعُوْنَكُمْ اَوْ يَضُرُّوْنَ؛ قَالُوْا بَلْ وَجَدْنَآ اٰبَاۤءَنَا كَذٰلِكَ يَفْعَلُوْنَ

Dan bacakanlah kepada mereka (kaum musyrikin Mekkah) berita (tentang) Ibrāhīm, ketika dia (  Nabi Ibrāhim as.) berkata kepada orang tuanya dan kaumnya: “Apakah yang kamu sembah?.” Mereka (kaum musyrikin) berkata: “Kami menyembah berhala-berhala, dan kami senantiasa, terhadapnya, tekun (beribadah).” Dia (         Nabi Ibrāhīm as.) berkata: “Apakah berhala-berhala itu mendengar kamu ketika kamu memohon, atau mereka memberi manfaat kepada kamu atau mendatangkan mudharat?” Mereka menjawab: “Bukan, tetapi kami mendapati nenek moyang kami (melakukan perbuatan) seperti (penyembahan, hal) itu (yang) kami lakukan.

(As-Syu’arā: 69-74).

قَالَ اَفَرَءَيْتُمْ مَّا كُنْتُمْ تَعْبُدُوْنَ ۙ؛ فَاِنَّهُمْ عَدُوٌّ لِّيْٓ اِلَّا رَبَّ الْعٰلَمِيْنَ ۙ؛ الَّذِيْ خَلَقَنِيْ فَهُوَ يَهْدِيْنِ ۙ؛ وَالَّذِيْ هُوَ يُطْعِمُنِيْ وَيَسْقِيْنِ ۙ؛ وَاِذَا مَرِضْتُ فَهُوَ يَشْفِيْنِ ۙ؛ وَالَّذِيْٓ اَطْمَعُ اَنْ يَّغْفِرَ لِيْ خَطِيْۤـَٔتِيْ يَوْمَ الدِّيْنِ ۗ

Ibrāhīm berkata: “Maka apakah kamu telah melihat (yakni berpikir tentang hakikat dan kekuasaan) apa yang selalu kamu sembah, kamu dan nenek moyang kamu dahulu? Maka (karena itu) sesungguhnya mereka (sesembahan-sesembahan itu) adalah musuh bagiku (juga musuh bagi kamu, karena hal itu mengakibatkan bencana), kecuali Tuhan Pemelihara semesta alam (Dia bukan musuhku, bukan pula musuh meluhur kamu). Dia yang telah menciptakan aku, maka hanya Dia (pula) Yang menunjuki aku, dan hanya Dia Yang memberi aku makan dsn memberi aku minum, dan apabila aku sakit, maka hanya Dia Yang menyembuhkan aku dan yang akan mematikan aku (dan seluruh makhluk hidup), kemudian akan menghidupkan aku dan Yang sangat kuharapkan akan mengampuni untukku kesalahanku pada hari pembalasan.

 (As-Syu’arā: 75-82).

وَاِذْ قَالَ اِبْرٰهِيْمُ لِاَبِيْهِ اٰزَرَ اَتَتَّخِذُ اَصْنَامًا اٰلِهَةً ۚاِنِّيْٓ اَرٰىكَ وَقَوْمَكَ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ

Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata kepada bapaknya Azar: “Pantaskan engkau menjadikan berhala-berhala sebagai sebagai tuhan-tuhan (yang disembah)? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.

(Al-An’ām: 74).

اِذْ قَالَ لِاَبِيْهِ وَقَوْمِهٖ مَا هٰذِهِ التَّمَاثِيْلُ الَّتِيْٓ اَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُوْنَ؛ قَالُوْا وَجَدْنَآ اٰبَاۤءَنَا لَهَا عٰبِدِيْنَ؛ قَالَ لَقَدْ كُنْتُمْ اَنْتُمْ وَاٰبَاۤؤُكُمْ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ؛ قَالُوْٓا اَجِئْتَنَا بِالْحَقِّ اَمْ اَنْتَ مِنَ اللّٰعِبِيْنَ؛ قَالَ بَلْ رَّبُّكُمْ رَبُّ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ الَّذِيْ فَطَرَهُنَّۖ وَاَنَا۠ عَلٰى ذٰلِكُمْ مِّنَ الشّٰهِدِيْنَ

Ingatlah ketika dia (Nabi Ibrahim as.) berkata kepada orang tua dan kaumnya: “Patung-payung apakah ini yang kamu tekun beribadah terhadapnya?” Mereka menjawab: “Kami mendapati nenek moyang kami adalah penyembah-penyembah mereka.” Dia (Nabi Ibrahim as.) berkata: “Demi (Allah), sungguh kamu dan bapak-bapak kamu benar-benar berada dalam kesesatan yang nyata.” Mereka berkata: “Apakah engkau datang kepada kami dengan sungguh-sungguh ataukah engkau termasuk orang-orang yang bermain-main?” Dia (Nabi Ibrahim as.) berkata: “Bahkan, Tuhan Pemelihara kamu ialah Tuhan Pemelihara langit dan bumi yang telah menciptakannya dan aku termasuk para penyaksi (yakni aku dapat memberikan bukti atas kebenaran yang aku ucapkan itu). (Al-Anbiyā: 52-56).

وَاِذْ قَالَ اِبْرٰهِيْمُ لِاَبِيْهِ وَقَوْمِهٖٓ اِنَّنِيْ بَرَاۤءٌ مِّمَّا تَعْبُدُوْنَۙ؛ اِلَّا الَّذِيْ فَطَرَنِيْ فَاِنَّهٗ سَيَهْدِيْنِ

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata kepada orang tuanya dan kaumnya (yang mempersekutukan Allah swt. dengan menyembah berhala): “Sesungguhnya aku berlepas diri menyangkut apa yang kamu sembah, kecuali (apabila yang kamu sembah hanya Allah swt., Tuhan) yang telah menciptakanku, maka sesungguhnya Dia-lah yang akan memberi petunjuk kepadaku.

(Az-Zukhruf: 26-27).

Untuk kesekian kalinya, Ibrahim as. kembali mengajak sang ayah agar menerima seruannya:

وَاذْكُرْ فِى الْكِتٰبِ اِبْرٰهِيْمَ ەۗ اِنَّهٗ كَانَ صِدِّيْقًا نَّبِيًّا؛ اِذْ قَالَ لِاَبِيْهِ يٰٓاَبَتِ لِمَ تَعْبُدُ مَا لَا يَسْمَعُ وَلَا يُبْصِرُ وَلَا يُغْنِيْ عَنْكَ شَيْـًٔا؛ يٰٓاَبَتِ اِنِّي قَدْ جَاۤءَنِيْ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَمْ يَأْتِكَ فَاتَّبِعْنِيْٓ اَهْدِكَ صِرَاطًا سَوِيًّا؛ يٰٓاَبَتِ لَا تَعْبُدِ الشَّيْطٰنَۗ اِنَّ الشَّيْطٰنَ كَانَ لِلرَّحْمٰنِ عَصِيًّا؛ يٰٓاَبَتِ اِنِّيْٓ اَخَافُ اَنْ يَّمَسَّكَ عَذَابٌ مِّنَ الرَّحْمٰنِ فَتَكُوْنَ لِلشَّيْطٰنِ وَلِيًّا؛ قَالَ اَرَاغِبٌ اَنْتَ عَنْ اٰلِهَتِيْ يٰٓاِبْرٰهِيْمُ ۚ لَىِٕنْ لَّمْ تَنْتَهِ لَاَرْجُمَنَّكَ وَاهْجُرْنِيْ مَلِيًّا؛ قَالَ سَلٰمٌ عَلَيْكَۚ سَاَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّيْۗ اِنَّهٗ كَانَ بِيْ حَفِيًّا

Ingatkanlah (semua manusia, wahai Nabi Muhammad saw., tentang kisah yang terdapat) di dalam al-Kitab (tentang) Ibrahim, sesungguhnya dia adalah seorang yang sangat benar, lagi seorang nabi. Ketika dia (Nabi Ibrahim as.) berkata kepada bapaknya: “Hai bapakku! Mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar dan tidak melihat serta tidak dapat menolongmu sedikitpun? Hai bapakku! Sungguh telah datang kepadaku sebagian ilmu yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Hai bapakku! Janganlah engkau menyembah setan! Sesungguhnya setan sangat durhaka terhadap (Allah swt.) Yang Maha Pemurah. Hai bapakku! Sesungguhnya aku khawatir bahwa engkau akan ditimpa siksa dari (Allah swt.) Yang Maha Pemurah, maka engkau menjadi kawan bagi syetan” Dia (Bapak Nabi Ibrahim as.) berkata: “Bencikah engkau kepada tuhan-tuhanku, wahai Ibrahim? Jika engkau benar-benar tidak berhenti (mencela Tuhan yang aku sembah), niscaya (aku bersumpah) engkau akan kurajam dan tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama.” Dia (Nabi Ibrahim as.) berkata: “Semoga keselamatan dilimpahkan atasmu, aku akan memohonkan ampun untukmu kepada Tuhan Pemeliharaku. Sesungguhnya dia sangat baik kepadaku.

(Maryam: 41-47).

Namun, Azar atau Tarih tetap saja enggan menyambut seruan putranya. Dia, bahkan, mengancam Ibrahim as. jika ia tidak kunjung menghentikan seruannya. Ancaman sang ayah tidak membuat berkurangnya kelembutan Ibrahim as. Ia malah memohonkan ampun kepada Allah swt. atas sikapnya. Dalam ayat lain, al-Qur’an mengisahkan kembali permohonan ampun Ibrahim as. bagi ayahnya itu:

وَاغْفِرْ لِاَبِيْٓ اِنَّهٗ كَانَ مِنَ الضَّاۤلِّيْنَ ۙ

Dan ampunilah orang tuaku, karena sesungguhnya dia termasuk golongan orang sesat…

(Asy-Syu’arā: 86).

Kelak di kemudian hari, setelah Ibrahim as. menuntaskan pembangunan Baitullah, ia memohonkan kembali ampunan bagi ayahnya:

رَبَّنَا اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِيْنَ يَوْمَ يَقُوْمُ الْحِسَابُ

Tuhan Pemelihara kami, ampunilah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mukmin pada hari Perhitungan (yakni Hari Kiamat).”

(Ibrāhīm: 41).

Berkaitan dengan doa Ibrahim as. untuk ayahnya, padahal ia adalah seorang yang musyik, Rusydi al-Badrawi menerangkan bahwa Qatadah berkata: “Telah dikisahkan kepada kami bahwa beberapa sahabat Nabi saw. berkata: “Wahai Nabi Allah, sesungguhnya di antara bapak-bapak kami ada yang berbuat baik kepada tetangga, menyambung silaturrahmi, dan menjauhi perbuatan tercela. Tidakkah (sebaiknya) kami memintakan ampun untuk mereka?” Maka, Nabi saw. bersabda: “Bahkan, sesungguhnya akupun akan memintakan ampun untuk bapakku sebagaimana Ibrahim memintakan ampun untuk bapaknya”.

Berdasarkan ini, orang-orang muslim pun memintakan ampun untuk kerabat dan keluarga mereka yang musyrik di masa awal (kedatangan) Islam, dan itu mengikuti apa yang dilakukan oleh Ibrahim as. dalam hal ini, sehingga turun firman Allah Yang Maha Tinggi:

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَنْ يَّسْتَغْفِرُوْا لِلْمُشْرِكِيْنَ وَلَوْ كَانُوْٓا اُولِيْ قُرْبٰى مِنْۢ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُمْ اَصْحٰبُ الْجَحِيْمِ؛ وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ اِبْرٰهِيْمَ لِاَبِيْهِ اِلَّا عَنْ مَّوْعِدَةٍ وَّعَدَهَآ اِيَّاهُۚ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهٗٓ اَنَّهٗ عَدُوٌّ لِّلّٰهِ تَبَرَّاَ مِنْهُۗ اِنَّ اِبْرٰهِيْمَ لَاَوَّاهٌ حَلِيْمٌ

Tidak ada (kewajaran bahkan kemampuan) bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohonkan ampun bagi orang-orang musyrik walaupun mereka adalah kaum kerabat, sesudah jelas bagi mereka (dengan kematian mereka dalam kemusyrikan atau adanya penjelasan yang pasti dari Allah swt.) bahwa mereka itu adalah penghuni (neraka) Jahannam. Dan bukanlah permohonan ampun Ibrahim (kepada Allah swt.) untuk bapaknya kecuali hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkan (kepada bapaknya; maka ketika telah jelas bahwa dia (bapaknya) adalah musuh Allah, dia berlepas diri darinya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.

(At-Taubah: 113-114).

Maka, berhentilah kalian dari memohonkan ampun untuk mereka!”

Ibrahim as. terus menyeru orang-orang agar beriman kepada Allah dan meninggalkan agama nenek moyang mereka yang sesat. Tidak bosan-bosannya ia menerangkan kepada mereka tentang hakikat berhala-berhala itu sehingga mereka tidak layak dipertuhan. Namun, orang-orang itu terus membantah dan menolak ajakannya. Mereka, bahkan, mengingatkan bahwa berhala-berhala itu akan menjatuhkan murka dan mapetaka kepada Ibrāhīm as. disebabkan  oleh penghinaannya:

وَحَاۤجَّهٗ قَوْمُهٗ ۗقَالَ اَتُحَاۤجُّوْۤنِّيْ فِى اللّٰهِ وَقَدْ هَدٰىنِۗ وَلَآ اَخَافُ مَا تُشْرِكُوْنَ بِهٖٓ اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ رَبِّيْ شَيْـًٔا ۗوَسِعَ رَبِّيْ كُلَّ شَيْءٍ عِلْمًا ۗ اَفَلَا تَتَذَكَّرُوْنَ؛ وَكَيْفَ اَخَافُ مَآ اَشْرَكْتُمْ وَلَا تَخَافُوْنَ اَنَّكُمْ اَشْرَكْتُمْ بِاللّٰهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهٖ عَلَيْكُمْ سُلْطٰنًا ۗفَاَيُّ الْفَرِيْقَيْنِ اَحَقُّ بِالْاَمْنِۚ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَۘ

Dan dia (Nabi Ibrahim as.) dibantah oleh kaumnya. Dia (Nabi Ibrahim as.) berkata: “Apakah kamu membantahku tentang Allah? Padahal, sungguh Dia telah memberi petunjuk kepadaku? Dan aku tidak takut kepada apa yang kamu persekutukan dengan-Nya, kecuali jika Tuhan Pemeliharaku menghendaki sesuatu (manfaat atau malapetaka atas diriku). Maka tidakkah kamu mengingat? Bagaimana aku takut kepada apa yang kamu persekutukan, padahal kamu tidak takut mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang (Allah swt.) tidak menurunkan pembenaran (sedikitpun) kepadamu tentangnya untuk mempersekutukan-Nya. Maka (jika demikian halnya) manakah di antara dua golongan itu yang lebih berhak mendapat keamanan (dari siksa dan malapetaka)? Jika kamu mengetahui, (sampaikanlah kepadaku).”

(Al-An’ām: 80-81).

وَاِبْرٰهِيْمَ اِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ اعْبُدُوا اللّٰهَ وَاتَّقُوْهُ ۗذٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ؛ اِنَّمَا تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ اَوْثَانًا وَّتَخْلُقُوْنَ اِفْكًا ۗاِنَّ الَّذِيْنَ تَعْبُدُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ لَا يَمْلِكُوْنَ لَكُمْ رِزْقًا فَابْتَغُوْا عِنْدَ اللّٰهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوْهُ وَاشْكُرُوْا لَهٗ ۗاِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ

Dan (Kami juga telah mengutus) Ibrahim (sebagai Rasul), (dan wahai Nabi Muhammad saw. ingat dan ingatkanlah manusia) saat dia (Nabi Ibrahim as.) berkata kepada kaumnya: “Sembahlah Allah dan bertakwalah kepada-Nya. (Kepatuhan dan ketakwaan) yang demikian itu adalah lebih baii bagi kamu. Jika kamu mengetahui (pasti kamu mengindahkan tuntutan ini). Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah hanyalah berhala-berhala, dwn kamu senantiasa memutarbalikkan (kebenaran dan membuat kebohongan). Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah tidak mampu memberi rezeki kepada kamu; maka mintalah rezeki di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada-Nyalah kamu akan dikembalikan.”

(Al-Ankabūt: 16-17).

—–

Ditulis oleh: Iqbal Harafa

Dihimpun dan Disarikan dari (1) Ibrāhīm Abū al-Anbiyā, karya ‘Abbās Mahmud al-‘Aqqād; (2) Dirāsāt Tārīkhiyyah min al-Qur’ān al-Karīm, karya Muhammad Bayūmī Mahrān; (3) Dirāsāt fī Tārīkh ay-Syarq al-Adnā al-Qadīm, Muhammad Bayūmī Mahrān; (4) Mishr wa al-Syarq al-Adabī al-Qadīm, karya ‘Abdul ‘Azīz Shālih; (5) Min I’jāz al-Qur’ān, karya Ra’ūf Abū Sa’dah; (6) Arā’is al-Majālis, karya Abū Ishāq ats-Tsa’labī; (7) Muhammad Rasulullāh wa al-ladzīna Ma’ahū, karya ‘Abdul Hamīd Jaudah as-Sahhār.

—–

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *