Nabi Ibrahim as. (19)

KELAHIRAN NABI IBRAHIM AS.

Kelahiran Ibrahim as., konon, telah diramalkan sebelumnya. Al-KhathIb al-BaghdAdi, misalnya, menulis bahwa para ahli nujum dan para dukun mengabarkan kepada raja yang saat itu berkuasa tentang akan lahirnya seorang bayi laki-laki di malam anu, di bulan anu, dan tahun anu. Sang bayi itu, kelak, akan membawa agama baru dan menghancurkan berhala-berhala yang menjadi tuhan-tuhan sesembahan ketika itu. Tidak hanya itu, bayi itu pun akan menghancurkan kekuasaan sang raja dan seluruh kerajaannya. 

Raja itu, masih menurut riwayat yang disajikan al-Khathib al-Baghdadi, bernama Namrud Bin Kan’an Bin Kusy Bin Iram Bin Sam Bin Nuh as., raja yang wilayah kekuasaannya membentang dari timur ke barat. Ada pula sumber yang menyebutkan bahwa Namrud adalah keturunan Ham Bin Nuh as.

Menyikapi ramalan itu, Namrūd memerintahkan pengawasan atas seluruh wanita yang hamil di tahun itu. Jika bayi yang mereka lahirkan laki-laki, maka akan langsung dibunuh. Ahilah, istri Azar atau Tarih, yang saat itu tengah hamil, lolos dari pengawasan. Allah menjadikan kehamilannya tidak terlihat.

Ketika masa bersalin tiba, Ahilah meminta suaminya agar pergi ke kuil penyembahan dewa untuk meminta keselamatan. Maka, Azar pun berangkat ke kuil itu dan tinggal di sana selama 40 hari.

Masa persalinan tiba. Ahilah melahirkan Ibrahim as. dengan selamat. Menyadari bayinya laki-laki, ia segera mengubur ari-arinya, lalu menyembunyikan bayi itu. Selanjutnya, Ahilah menuju ke tempat suaminya berada dan mengabari bahwa sang bayi telah lahir, laki-laki, namun meninggal dunia dengan segera karena penderitaannya. Bersama istrinya, Azar atau Tarih segera menunju ke tempat di mana bayi Ibrahim as. disembunyikan. Mereka menemukan sang bayi masih hidup dan tumbuh dengan sehat. Maka, Ibrahim as. pun mereka rawat dan Ahilah menyusukannya hingga masa penyapihan.

Di buku yang sama, al-Khatib al-Baghdadi menyampaikan riwayat dari Ibn ‘Abbas bahwa pertumbuhan tubuh bayi Ibrahim as. dalam sehari sama dengan seminggu, seminggu sama dengan sebulan, dan sebulan sama dengan setahun. Jika telat menyusui atau ketika air susunya mengering, Ahilah seringkali menemukan Ibrahim as. menghisap ibu jarinya sendiri. Dari ibu jarinya itu, air susu dan madu memancar. Sejak saat itulah bayi-bayi manusia sering menghisap ibu jarinya hingga ke zaman sekarang ini.

Rusydi al-Badrawi menilai bahwa riwayat-riwayat di seputar kelahiran Ibrahim as. seperti yang dituturkan di atas, juga kisah-kisah lainnya yang senada, berasal dari sumber-sumber yang sangat diragukan kesahihannya. Bagaimana mungkin, misalnya, ibu Ibrahim as. menyembunyikan kehamilan, bahkan persalinan bayinya, dari orang-orang? Selain itu, sumber yang menyebutkan bahwa Ibrahim as. lahir di era kekuasaan sesosok raja bernama Namrud itu pun, sebagaimana akan dijelaskan di bab berikutnya, patut diragukan. Ditambah lagi, sejarah Irak Kuno tidak meninggalkan catatan apapun yang menunjukkan pernah berkuasanya seorang raja bernama Namrud di wilayah itu.

Selanjutnya, kisah peringatan para ahli nujum tentang akan lahirnya seorang bayi yang kelak menghancurkan kekuasaan raja,  bisa jadi, terinspirasi dari sejarah hidup Musa as. Di era Musa as., memang benar terjadi bahwa Fir’aun Mesir ketika itu ditenggelamkan dan dihancurkan Allah swt. Namun, untuk Ibrahim as., tidak ada satu sumber dan peninggalan pun yang menunjukkan bahwa ia menghancurkan kekuasaan raja yang memerintah di masa itu.

Tentang kelahiran Ibrahim as., pendapat terkuat menunjukkan bahwa ia lahir di kota Ur pada sekitar tahun 1978 SM. Taurat menyebut kota kelahiran Ibrahim as. dengan Ur Kaldan. Kota ini berada di tepi selatan Sungai Efrat, sekitar 150 kilometer sebelah barat Bashrah.

Posisi kota Ur diketahui berdasarkan kepada sumber yang menyebutkan adanya sepuluh generasi antara Nuh as. dengan Ibrahim as. Kesepuluh generasi keturunan Nuh as. ini bermigrasi ke wilayah antara Irak bagian utara hingga ke selatan, sebuah wilayah yang membentang sejauh kurang lebih 1000 kilometer persegi.

Mahmud Bayumi Mahran menunjuk lokasi berbeda untuk kota ini. Menurutnya, Ur berada di wilayah antara bagian utara Irak hingga kota Haran. Pendapat Bayumi ini dibantah keras oleh Rusydi al-Badrawi. Baginya, pendapat itu sama saja dengan mengatakan bahwa migrasi generasi-generasi keturunan Nuh as.  tidak pernah terjadi. Hal itu karena wilayah utara Irak hingga Haran hanya membentang sejauh 10-20 kilometer saja.

Tentang tahun kelahiran Ibrahim as., Karl Rasmussen menyebutkan bahwa ia lahir pada 2175 SM. Pendapat lain menyebutkan bahwa ia lahir di tahun 2050 SM dan wafat di usia 175 tahun. Dengan demikian, Ibrahim as. hidup antara tahun 2050-1875 SM. Ada pula pendapat ketiga yang menunjuk bahwa masa hidup Ibrahim as. berlangsung antara 1800-1625 SM. Kesemua pendapat ini mendasarkan diri kepada sumber yang menginformasikan bahwa Ibrahim as. pernah berkunjung ke Mesir di era pemerintahan Hiksus (Hecsos).

Pendapat terakhir ini, menurut Rusydi al-Badrawi, berbeda dengan sumber-sumber paling shahih yang menunjukkan bahwa kunjungan Ibrahim as. ke Mesir bukanlah terjadi di era pemerintahan Hiksus, tetapi di era pemerintahan generasi kedua belas dinasti Mesir, yaitu sekitar tahun 2000-1875 SM. Taurat menyebut tahun yang lebih detail, yaitu 1898 SM dan, ketika kunjungan itu dilakukan, Ibrahim as. telah berumur 80 tahun. Dari sini dapat ditarik perkiraan waktu kelahiran Ibrahim as., yaitu 1978 SM.

Walaupun tidak menyimpulkan tahun secara detail, Mahmud al-‘Aqqad menyampaikan hasil kajiannya yang hampir senada, yaitu bahwa Ibrahim as. lahir di masa pertengahan antara awal abad ke-18 SM dan akhir abad ke-19 SM. Berbagai manuskrip dan catatan sejarah, menurutnya, menunjuk secara kuat ke masa itu.

—–

Ditulis oleh: Iqbal Harafa

Dihimpun dan Disarikan dari (1) Ibrāhīm Abū al-Anbiyā, karya ‘Abbās Mahmud al-‘Aqqād; (2) Dirāsāt Tārīkhiyyah min al-Qur’ān al-Karīm, karya Muhammad Bayūmī Mahrān; (3) Dirāsāt fī Tārīkh ay-Syarq al-Adnā al-Qadīm, Muhammad Bayūmī Mahrān; (4) Mishr wa al-Syarq al-Adabī al-Qadīm, karya ‘Abdul ‘Azīz Shālih; (5) Min I’jāz al-Qur’ān, karya Ra’ūf Abū Sa’dah; (6) Arā’is al-Majālis, karya Abū Ishāq ats-Tsa’labī; (7) Muhammad Rasulullāh wa al-ladzīna Ma’ahū, karya ‘Abdul Hamīd Jaudah as-Sahhār.

—–

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *