SUMERIA
Abdul Aziz Shalih mengatakan bahwa kabilah Sumeria adalah kabilah yang belum diketahui dengan jelas asal usulnya, juga daerah yang menjadi tempat tinggal asal mereka. Namun, Rusydi Al-Badrawi meyakini bahwa mereka adalah keturunan-keturunan ash-Shamari Bin Kan’an. Hanya saja, huruf “Shād”” pada nama “ash-shamārī” mengalami pergeseran menjadi huruf “Sīn” sehingga mereka disebut kabilah “Sūmarī”.
Ketika wilayah utara Irak dipadati oleh orang-orang Asur, sementara di barat telah berdiri berbagai daulah Aram, orang-orang Sumeria bergerak ke selatan Irak. Di sana, mereka mendirikan berbagai daulah kota. Masing-masing daulah kota itu memiliki raja sendiri, juga dewa sesembahan sendiri. Daulah-daulah di selatan itu adalah:
- Ur (kini bernama al-Muqir);
- Iridu (kini bernama Abu Syahrain);
- Larsa (kini bernama Sinkarah);
- Lajas (kini bernama Tallu);
- Uma (kini bernama Tal Khuja);
- Uruk (kini bernama al-Waraka’);
- Syurubak (kini bernama Farah);
- Ninyur (kini bernama Nafar); dan
- Khafaji.
Seluruh daulah kota itu bertetangga dengan daulah-daulah Akaddia di utara. Antar daulah-daulah yang didirikan oleh orang-orang Sumeria di selatan ini sering terjadi persaingan.
Pada suatu waktu, satu daulah kota mendominasi dan memimpin daulah-daulah kota lainnya. Ur, misalnya, pernah menjadi daulah kota yang paling dominan. Di lain waktu, posisi itu diambil alih oleh Lajas. Demikian hingga, pada suatu waktu, muncul sosok bernama Lukal Zajiza, seorang raja kuat yang berkuasa di Uma. Dialah yang kemudian menyatukan daulah-daulah di selatan itu ke dalam sebuah kerajaan besar Sumeria. Uruk menjadi ibukotanya.
Untuk memperkuat kekuasaan dan dominasi politiknya, Lukal Zajiza menggunakan agama sebagai tameng. Ia menyebut dirinya putra Dewa Nisaba yang mengisap air susu suci dari Dewi Nin Qarsaj. Ia pun mengenalkan dirinya sebagai pelayan Dewa An, dewa para penduduk Uruk, serta pelayan Dewa Inlil, dewa para penduduk Uma.
—–
Ditulis oleh: Iqbal Harafa
Dihimpun dan Disarikan dari (1) Ibrāhīm Abū al-Anbiyā, karya ‘Abbās Mahmud al-‘Aqqād; (2) Dirāsāt Tārīkhiyyah min al-Qur’ān al-Karīm, karya Muhammad Bayūmī Mahrān; (3) Dirāsāt fī Tārīkh ay-Syarq al-Adnā al-Qadīm, Muhammad Bayūmī Mahrān; (4) Mishr wa al-Syarq al-Adabī al-Qadīm, karya ‘Abdul ‘Azīz Shālih; (5) Min I’jāz al-Qur’ān, karya Ra’ūf Abū Sa’dah; (6) Arā’is al-Majālis, karya Abū Ishāq ats-Tsa’labī; (7) Muhammad Rasulullāh wa al-ladzīna Ma’ahū, karya ‘Abdul Hamīd Jaudah as-Sahhār.
—–