BABEL DAN DAULAH AKKADIA
Mirip dengan daulah-daulah Sumeria, daulah-daulah Akaddia pun merupakan gabungan dari daulah-daulah yang lebih kecil. Akad menjadi ibukotanya. Kekuasaan daulah ini tumbuh pertama kali di babel. Ketika itu, babel adalah kota kecil bernama KadanjIrA. Setelah dikuasai oleh orang-orang Akad, Babel berkembang menjadi sebuah kota besar dan ramai. Wilayahnya pun meluas hingga mendekati sungai Tigris dan sungai Efrat di wilayah tengah Irak.
Sejumlah sejarahwan mengatakan bahwa kota kecil ini, setelah tumbuh besar dengan wilayah luas di tangan orang-orang Akad, disebut dengan nama Babul Ilah, Bab Il, Babila, atau Babel.
Tentang kota ini, Taurat menerangkan dalam Kitab Kejadian Pasal 11:
Adapun seluruh bumi, satu bahasanya dan satu logatnya. Maka berangkatlah mereka ke sebelah timur dan menjumpai tanah datar di tanah Sinear, lalu menetaplah mereka di sana. Mereka berkata seorang kepada yang lain: “Marilah kita membuat batu bata dan membakarnya baik-baik.” Lalu bata itulah dipakai mereka sebagai batu dan ter gala-gala sebagai tanah liat. Juga kata mereka: “Marilah kita dirikan bagi kita sebuah kota dengan sebuah menara yang puncaknya sampai ke langit, dan marilah kita cari nama, supaya kita jangan terserak ke seluruh bumi.” Lalu turunlah TUHAN untuk melihat kota dan menara yang didirikan oleh anak-anak manusia itu, dan Ia berfirman: “Mereka ini satu bangsa dengan satu bahasa untuk semuanya. Ini barulah permulaan usaha mereka; mulai dari sekarang apapun juga yang mereka rencanakan, tidak ada yang tidak akan dapat terlaksana. Baiklah Kita turun dan mengacaubalaukan di sana bahasa mereka, sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing.” Demikianlah mereka diserakkan TUHAN dari situ ke seluruh bumi, dan mereka berhenti mendirikan kota itu. Itulah sebabnya sampai sekarang nama kota itu disebut Babel, karena di situlah dikacaubalaukan TUHAN bahasa seluruh bumi dan dari situlah mereka diserakkan TUHAN ke seluruh bumi.
—–
Ditulis oleh: Iqbal Harafa
Dihimpun dan Disarikan dari (1) Ibrāhīm Abū al-Anbiyā, karya ‘Abbās Mahmud al-‘Aqqād; (2) Dirāsāt Tārīkhiyyah min al-Qur’ān al-Karīm, karya Muhammad Bayūmī Mahrān; (3) Dirāsāt fī Tārīkh ay-Syarq al-Adnā al-Qadīm, Muhammad Bayūmī Mahrān; (4) Mishr wa al-Syarq al-Adabī al-Qadīm, karya ‘Abdul ‘Azīz Shālih; (5) Min I’jāz al-Qur’ān, karya Ra’ūf Abū Sa’dah; (6) Arā’is al-Majālis, karya Abū Ishāq ats-Tsa’labī; (7) Muhammad Rasulullāh wa al-ladzīna Ma’ahū, karya ‘Abdul Hamīd Jaudah as-Sahhār.
—–