DEWA MARDUK
Dewa Marduk adalah Planet Jupiter. Ia sering pula disebut Mardukh. Ur, kota kelahiran Ibrahim as. adalah pusat penyembahannya.
Marduk adalah dewa terbesar bagi orang-orang di Ur. Ke salah satu telinga patung dewa terbesar inilah Ibrahim as., sebagaimana akan dikisahkan dalam bab berikutnya, mengalungkan kapak yang digunakannya untuk menghancurkan patung-patung sesembahan orang-orang Ur.
Selain di Ur, Marduk pun menjadi sesembahan utama di Babel selama, sekitar, 1500 tahun. Itu berlangsung sejak, sekitar, tahun 2000 SM hingga jatuhnya Babel pada tahun 539 SM.
Marduk diyakini sebagai anak tunggal dari Inka atau Iyya, sang Dewa Air, yang menjadi sesembahan orang-orang di kota suci Irdu, kuil yang khusus menjadi tempat penyembahannya di Babel.
Marduk memiliki empat mata dan empat telinga. Ia adalah dewa tercerdas di antara seluruh dewa-dewa cerdas. Karenanya, Marduk menjadi pengasuh bagi dewa-dewa lainnya. Marduk juga memiliki lima puluh nama. Tidak hanya itu, ia pun menyusup kepada seluruh dewa lainnya. Dengan kata lain, semua dewa hanyalah bagian dari wujud dirinya. Narjal adalah juga Marduk, Inlīl adalah Marduk, demikian pula dewa-dewa lainnya, baik dewa-dewa laki-laki maupun dewa-dewa perempuan.
Di kuil penyembahannya, Marduk digambarkan sebagai sosok berjenggot yang mengenakan mahkota tinggi berbentuk kerucut, rambutnya menjuntai di belakang kepala, dan mengenakan pakaian panjang yang dihiasi oleh bintang-bintang hingga ke bagian kedua kaki. Tangan kanan Marduk digambarkan merapat ke dada sambil memegang sebuah gelang dan tongkat; simbol kekuatan. Tangan kirinya lurus ke bawah. Ia dijaga oleh seekor ular merah.
—–
Ditulis oleh: Iqbal Harafa
Dihimpun dan Disarikan dari (1) Ibrāhīm Abū al-Anbiyā, karya ‘Abbās Mahmud al-‘Aqqād; (2) Dirāsāt Tārīkhiyyah min al-Qur’ān al-Karīm, karya Muhammad Bayūmī Mahrān; (3) Dirāsāt fī Tārīkh ay-Syarq al-Adnā al-Qadīm, Muhammad Bayūmī Mahrān; (4) Mishr wa al-Syarq al-Adabī al-Qadīm, karya ‘Abdul ‘Azīz Shālih; (5) Min I’jāz al-Qur’ān, karya Ra’ūf Abū Sa’dah; (6) Arā’is al-Majālis, karya Abū Ishāq ats-Tsa’labī; (7) Muhammad Rasulullāh wa al-ladzīna Ma’ahū, karya ‘Abdul Hamīd Jaudah as-Sahhār.
—–