Nabi Ibrahim as. (15)

KONSEP PENCIPTAAN

Orang-orang Sumeria membayangkankan bahwa langit dan bumi, di awal penciptaannya, adalah  dua hal yang tadinya bersatu dan padu. Menurut Rusydi al-Badrawi, tidaklah mungkin konsep penciptaan alam semesta seperti itu berasal dari hasil perenungan mereka sendiri. Jika mengarahkan pandangan ke langit, orang-orang Sumeria dapat menatap dan melihat dengan jelas bahwa matahari, bulan, dan bintang, adalah benda-benda langit yang jaraknya masing-masing sangatlah berjauhan. Karenanya, keyakinan mereka itu, bisa jadi, merupakan ajaran Nuh as. yang telah mengalami pelencengan.

اَوَلَمْ يَرَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اَنَّ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنٰهُمَاۗ وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاۤءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّۗ اَفَلَا يُؤْمِنُوْنَ

“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak melihat (menyaksikan dengan mata hati dan pikiran sejelas pandangan mata) bahwa langit dan bumi keduanya dahulu adalah sesuatu yang padu, kemudian Kami pisahkan keduanya.” (Al-Anbiyā: 30).

Selama masa keterpaduan itu, menurut orang-orang Sumeria, bumi dan langit dipisahkan oleh air yang sangat besar. Di langit, ada dewa bernama Anu yang mereka anggap sebagai leluhur terbesar yang disembah. Di bumi, ada dewa perempuan bernama Ka.  Lalu, sebagai penyatu bagi kedua dewa ini, ada sosok Inlil atau Lail, sang Dewa Udara dan Angin, yang masuk ke sela antara langit dan bumi itu, kemudian memisahkan keduanya. Selanjutnya, Anu mengangkat langit itu ke ketinggiannya dan Ka menahan bumi tetap di bawah. Segera setelah itu, sosok dewa-dewa lain pun bermunculan.

Jauh sebelum itu, di langit dan bumi yang masih berpadu, telah ada sosok Inka, inti air yang menjadi pemisah antara keduanya, putra Namu, unsur ibu di air azali. Inka menikah dengan Nanmah, Sang Nyonya Agung, atau Ninatu, Sang Pemimpin Ibu.

Orang-orang Sumeria meyakini bahwa manusia diciptakan untuk menyembah dan melayani para dewa. Mereka membayangkan para dewa itu, sejak awal penciptaannya, bertualang dan tidak memiliki kemampuan apapun hingga dewa terbesar mereka menciptakan hewan-hewan ternak sekaligus menghadirkan sosok Lahar, Dewa Hewan Ternak. Selain Lahar, dewa terbesar menghadirkan pula adiknya, Asynan, Dewa Bijih-Bijihan. Kedua dewa yang disebutkan terakhir ini pun memberi makanan kepada dewa-dewa lainnya.

Karena rakus, dewa-dewa yang diberi makanan itu tidak merasa kenyang. Maka, mereka mereka pun datang ke hadapan Sang Sesembahan Bijaksana, Inka, sambil menundukkan diri. Mereka bersimpuh di hadapan Inka yang didampingi oleh ibunya, sang unsur ibu di air azali. Lalu, ibunya berkata: “Jika demikian, bangunlah engkau, anakku, agar kita dapat membuat sesuatu yang lunak, agar kita dapat membuat manusia penyembah dewa-dewa!” Inka mengabulkan permintaan itu, lalu berkata: “Pukullah olehmu inti tanah yang ada di atas air yang dalam itu, lalu bentuklah anggota-anggota tubuhnya. Kaitkan kepadanya wujud dewa-dewa. Maka, itulah dia manusia. Selanjutnya, aturlah bentuk akhirnya olehmu, wahai Ibu!”

Orang-orang Babel memiliki konsep sedikit berbeda tentang asal-usul wujud dan perkembangannya. Menurut keyakinan mereka, asal segala sesuatu kembali kepada air azali, air yang rasa tawar dan asinnya melebur. Rasa tawar diwakili oleh sosok Abisu, dewa berjenis laki-laki, dan rasa asin diwakili oleh sosok Tiyamah, dewa berjenis perempuan. Ketika itu, langit dan bumi belumlah ada. Yang ada hanyalah air tawar dan air asin.

Selanjutnya, muncullah generasi dewa-dewa kecil di kedalaman air, kelompok demi kelompok. Dewa-dewa kecil itu saling bersaing dan bertarung. Sejumlah dewa itu meminta bantuan Kanaju, sesosok Dewa Kuno. Menyikapi itu, sejumlah dewa lain yang menjadi pesaing mereka meminta bantuan Marduk. Maka, turunlah Marduk dengan menggunakan kekuatan sihir, memburu dewa-dewa yang dibantu oleh Kanaju dengan menggunakan jaring, lalu menyapu mereka dengan hembusan angin panas sehingga pergerakan mereka pun terhenti. Marduk pun membelenggu dan menyembelih dewa-dewa itu. Adapun Kanaju, ia kembali ke air azali, lalu membelah air azali itu menjadi dua bagian. Bagian teratas menjadi langit dan bagian terbawah menjadi bumi.

Di bagian langit, Kanaju menempatkan seorang penjaga, menata airnya, dan menyediakan tempat dewa-dewa. Di bagian bumi, ia meneguhkan gunung-gunung, menggariskan sungai-sungai, dan memancarkan air dari sumber-sumbernya. Selanjutnya, Kanaju membagi tugas penataan bumi kepada sejumlah dewa. Ia menyampaikan maksudnya atas para dewa itu di hadapan singgasana dewa teragung, Dewa Inlil. Dari situ, muncul gagasan menciptakan manusia agar beban pengelolaan bumi dapat diberikan.

Selanjutnya, para dewa menghadap kepada Dewa Ibu, Nantu, memohon dirinya agar menciptakan manusia pertama. Maka, Nantu mengambil sari tanah suci. Dengan bantuan Iyya, Nantu menciptakan tujuh manusia laki-laki dan tujuh manusia perempuan. Ia pun mengkodratkan sembilan bulan masa kehamilan bagi wanita dan membesarnya kandungan mereka sebelum seorang manusia lahir.

Dari waktu ke waktu, manusia semakin bertambah banyak, riuh, dan gaduh. Perkembangan manusia itu membuat Inlil mulai merasakan ketidakyamanan. Maka, ia memerintahkan Namtar untuk menurunkan musibah wabah, kemarau, paceklik, dan kelaparan agar jumlah manusia menjadi susut.

Di tempat-tempat para dewa sendiri, terjadi konflik dan pertarungan terus menerus. Dewa di negeri yang memenangkan pertarungan mengendalikan dewa-dewa lain di negeri ditaklukkan. Marduk, misalnya, menjadi dewa terbesar di masa Babel berkuasa. Namun, ketika kota Lajas memerdekakan diri, posisinya digantikan oleh Nin Jarsu, Nin Jizida, dan Nisaba. Ketiganya adalah dewa orang-orang Lajas sendiri. Demikian pula di kota Uruk, posisi Marduk digantikan oleh Inana, Anu, dan Uthu.

—–

Ditulis oleh: Iqbal Harafa

Dihimpun dan Disarikan dari (1) Ibrāhīm Abū al-Anbiyā, karya ‘Abbās Mahmud al-‘Aqqād; (2) Dirāsāt Tārīkhiyyah min al-Qur’ān al-Karīm, karya Muhammad Bayūmī Mahrān; (3) Dirāsāt fī Tārīkh ay-Syarq al-Adnā al-Qadīm, Muhammad Bayūmī Mahrān; (4) Mishr wa al-Syarq al-Adabī al-Qadīm, karya ‘Abdul ‘Azīz Shālih; (5) Min I’jāz al-Qur’ān, karya Ra’ūf Abū Sa’dah; (6) Arā’is al-Majālis, karya Abū Ishāq ats-Tsa’labī; (7) Muhammad Rasulullāh wa al-ladzīna Ma’ahū, karya ‘Abdul Hamīd Jaudah as-Sahhār.

—–

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *