KEHIDUPAN SETELAH MATI
Masyarakat Irak kuno tidak mengenal adanya konsep hari kebangkitan dan hari pembalasan. Menurut mereka, jasad akan hancur setelah bersatu dengan tanah. Adapun ruh, ia akan berpindah ke Alam Rendah, yaitu alam di mana ruh akan abadi berada di sana. Ruh tidak akan kembali menyatu dengan jasadnya lalu menjalani kehidupan setelah mati. Jasad akan tetap menyatu dengan tanah dan ruh akan tetap berada di alamnya, selama-lamanya. Tidak ada hari perhitungan dan tidak ada hari pembalasan.
Bagi orang-orang Irak kuno, dunia tidak lebih dari tempat mereka bersantai dan menyibukkan diri. Setiap orang dapat mencari apa yang dibutuhkannya, setiap orang dapat berusaha mendapatkan apa yang diinginkannya. Tidak ada sistem hukum yang mengenalkan adanya konsep hak dan kewajiban atau konsep keburukan dan kebaikan. Mereka tidak mengenal adanya kekuatan maha yang akan terus-menerus menajamkan matanya, mengawasi setiap apapun yang dilakukan oleh manusia, lalu menjamin bahwa setiap pelaku kebajikan akan mendapatkan balasan kebajikan dan pelaku keburukan akan mendapatkan balasan keburukan, baik di dunia ataupun di hari kemudian. Aturan-aturan hukum yang berlaku di suatu wilayah diterapkan semata-mata untuk tujuan menjamin ketaatan orang-orang kepada raja mereka. Ketaatan kepada raja akan mendekatkan mereka kepada para dewa.
Demikianlah, orang-orang di wilayah Irak Kuno hidup tanpa sedikitpun mengenal adanya konsep kehidupan hari perhitungan atas seluruh prilaku mereka selama hidup di dunia. Orang-orang hidup tanpa sedikitpun memiliki arah dan tujuan. Tidak ada sedikitpun penjamin bagi tegaknya keadilan dan kesejahteraan.
Telah tiba waktunya bagi langit untuk turun tangan, mengeluarkan umat manusia dari kegelapan dan kesesatan menyeluruh ini. Dan, Allah swt. telah memilih Ibrahim as. untuk tugas agung itu.
—–
Ditulis oleh: Iqbal Harafa
Dihimpun dan Disarikan dari (1) Ibrāhīm Abū al-Anbiyā, karya ‘Abbās Mahmud al-‘Aqqād; (2) Dirāsāt Tārīkhiyyah min al-Qur’ān al-Karīm, karya Muhammad Bayūmī Mahrān; (3) Dirāsāt fī Tārīkh ay-Syarq al-Adnā al-Qadīm, Muhammad Bayūmī Mahrān; (4) Mishr wa al-Syarq al-Adabī al-Qadīm, karya ‘Abdul ‘Azīz Shālih; (5) Min I’jāz al-Qur’ān, karya Ra’ūf Abū Sa’dah; (6) Arā’is al-Majālis, karya Abū Ishāq ats-Tsa’labī; (7) Muhammad Rasulullāh wa al-ladzīna Ma’ahū, karya ‘Abdul Hamīd Jaudah as-Sahhār.
—–