Nabi Ibrahim as. (18)

TENTANG AYAH NABI IBRAHIM AS.

Dalam Taurat dikatakan bahwa Ibrahim as. memiliki ayah bernama Tarih. Ini berbeda dengan al-Qur’an yang menyebut bahwa ayahnya adalah Azar. Allah swt. berfirman:

وَاِذْ قَالَ اِبْرٰهِيْمُ لِاَبِيْهِ اٰزَرَ اَتَتَّخِذُ اَصْنَامًا اٰلِهَةً ۚاِنِّيْٓ اَرٰىكَ وَقَوْمَكَ فِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ

Dan (ingatlah), ketika Ibrāhīm berkata kepada ayahnya Azar: “Pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan (yang disembah)? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesasatan yang nyata.” 

(Al-An’ām: 74).

Berkaitan dengan ayat tersebut di atas, para ulama mengemukakan penafsiran yang bermacam-macam. Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi, misalnya, menguraikan bahwa Azar bukanlah ayah Ibrahim as., melainkan pamannya. Ibrahim as. diasuh oleh pamannya sejak kecil karena ayahnya telah wafat. Dua alasan dikemukakannya: Pertama, tidaklah mungkin Ibrahim as. memiliki ayah seorang penyembah berhala karena itu bertentangan dengan sekian banyak hadits yang menegaskan kesucian silsilah Muhammad saw. hingga ke Adam as. Nabi saw., misalnya, pernah bersabda:

مَازَلْتُ أَنْتَقِلُ مِنْ أَصْلَابِ الطَّاهِرِيْنَ إِلَى أَرْحَامِ الطَّاهِرَاتِ

“Aku terus berpindah dari sulbi-sulbi para lelaki suci ke rahim-rahim para wanita suci.” 

Menguatkan hal itu, Bin Sa’ad menuliskan pula dalam ath-Thabaqāt apa yang disampaikan dari Muhammad Bin ‘Ali Bin Abi Thalib bahwa Nabi saw. bersabda:

إِنَّمَا خَرَجْتُ مِنْ نِكَاحٍ وَلَمْ أَخْرُجْ مِنْ سِفَاحٍ، مِنْ لَدُنْ آدَمَ لَمْ يُصِبْنِي مِنْ سِفَاحِ أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ شَيْءٌ، لَمْ أَخْرُجْ إِلا مِنْ طُهْرِ

“Sesungguhnya aku lahir karena suatu pernikahan, tidak sekali-kali lahir karena suatu perzinahan. Sejak dari Ādam, tidak sepercikpun prilaku menyimpang jahiliyyah mengenaiku. Aku tidak lahir kecuali dari kesucian.”

Alasan kedua, lanjut Muhammad Mutawallī asy-Sya’rawi, adalah bahwa penggunaan kata ab dalam al-Qur’an yang berarti bapak tidak selalu bermakna bapak kandung. Silsilah bapak kandung ke atas, yaitu kakek, bapaknya kakek, dan seterusnya, serta silsilah bapak ke samping, yaitu paman, dapat pula dicakup oleh kata ab itu. Penggunaan kata ab yang bukan dalam pengertian bapak kandung ini banyak ditemukan dalam al-Qur’an.

Pada surat al-Baqarah ayat 133, misalnya, Isma’il as. disebut sebagai ab bagi Ya’qub as. Padahal, secara nasab, Isma’īl as. adalah paman dari Ya’qub as.

Dalam al-Qur’ān, penyebutan kata ab yang disandingkan dengan Azar hanya ditemukan di satu tempat sehingga tidak serta merta dapat disimpulkan bahwa Azar adalah ayah kandung Ibrahim as.

Selain apa yang diuraikan oleh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi ini, sejumlah ulama lain mengatakan pendapat bahwa Azar adalah kakek Ibrahim as.. Dialah yang mengasuhnya. Karena itulah Ibrahim as. memanggil sang kakek dengan sebutan ayah sebagai kiasan yang menunjukkan dekatnya hubungan mereka berdua.

Bagi Rusyi al-Badrawi, pendapat bahwa Azar adalah paman Ibrahim as. dan bahwa ayahnya telah meninggal dunia sebelum ia lahir adalah pendapat yang sulit diterima. Itu mengingat bahwa Muhammad saw. pun diasuh bukan oleh ayahnya, tetapi oleh kakeknya, ‘Abdul Muththalib, dan pamannya, Abū Thalib. Namun, terhadap kedua orang itu, Muhammad saw. tetap memanggil mereka masing-masing dengan sebutan kakek dan paman, tidak menggantinya dengan sebutan ayah. Sementara itu, jelas pula kajian di kalangan sejarahwan bahwa dalam safari hijrahnya dari Ur ke Haran, sebagaimana akan dijelaskan nanti, Ibrahim as. membawa serta ayahnya, Azar, sekalipun ia tetap dalam kekafirannya. Bahkan, di sanalah Azar wafat dan dimakamkan.

Ulama lain berpandangan bahwa Azar dan Tarih adalah nama yang sama. Ayah Ibrahim as., terkadang dipanggil dengan nama Azar, terkadang pula dipanggil dengan nama Tarih. Ini adalah lumrah karena Muhammad saw. sendiri terkadang dipanggil dengan nama al-Mustafa atau Abul Qasim? Al-Baidhawi adalah tokoh yang memiliki pandangan ini. Ia mengatakan bahwa Tarih adalah nama aslinya, sementara Azar adalah sebutan sifatnya. Azar memiliki arti, menurutnya, orang yang kuat atau pembela.

Pendapat al-Baidhawi ini pun, bagi Rusydī al-Badrawi, malah menimbulkan pertanyaan baru: siapakah yang dibelanya? Azar tidak  diterangkan pernah membela kebenaran seruan Ibrahim as. Ia, bahkan pernah mengancamnya:

قَالَ اَرَاغِبٌ اَنْتَ عَنْ اٰلِهَتِيْ يٰٓاِبْرٰهِيْمُ ۚ لَىِٕنْ لَّمْ تَنْتَهِ لَاَرْجُمَنَّكَ وَاهْجُرْنِيْ مَلِيًّا

Dia (Bapak Nabi Ibrāhīm as.) berkata: “Bencikah engkau kepada tuhan-tuhanku, wahai Ibrāhīm? Jika engkau benar-benar tidak berhenti (mencela Tuhan yang aku sembah), niscaya (aku bersumpah) engkau akan kurajam dan tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama.”

(QS. Maryam: 46).

Al-Qur’an tidak menggelari seseorang dengan suatu sifat kecuali sifat itu benar-benar dimiliki olehnya. Betul bahwa Azar adalah seorang pembela. Namun, ia bukan seorang pembela Ibrahim as., tetapi pembela patung-patung berhala!

Sementara itu, As-Suhaili mengatakan bahwa Azar adalah kata yang bemakna umpatan. Azar berarti enyahlah. Rusydi al-Badrawi, lagi-lagi, membantah pendapat ini. Ibrahim as., setelah ia mendengar ucapan ayahnya sebagaimana tertulis dalam surat Maryam ayat 46 di atas, menjawabnya dengan kalimat yang tidak mengandung makna umpatan sedikitpun:

قَالَ سَلٰمٌ عَلَيْكَۚ سَاَسْتَغْفِرُ لَكَ رَبِّيْۗ اِنَّهٗ كَانَ بِيْ حَفِيًّا

Dia (Nabi Ibrāhīm as.) berkata: “Semoga keselamatan dilimpahkan atasmu, aku akan memohonkan ampun untukmu kepada Tuhan Pemeliharaku. Sesungguhnya dia sangat baik kepadaku.

(Maryam: 47).

Apa pula ulama yang mengatakan bahwa Azar adalah nama sebuah berhala yang disembah oleh Tarih, ayah Ibrāhīm as. Pertanyaan Ibrahim as. kepada ayahnya, sebagaimana termaktub dalam surat al-An’ām ayat 74 yaitu “Pantaskah engkau menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan (yang disembah)?  menjadi bermakna “Pantaskah engkau menjadikan Azar sebagai berhala-berhala yang menjadi tuhan-tuhan (yang disembah)?

Kajian terbaru tentang masalah ini dilakukan oleh Ra’uf Abu Sa’dah. Ia menyimpulkan bahwa kata Azar adalah terjemahan dalam bahasa Arab untuk kata Tarih yang merupakan bahasa Ibrani, bahasa yang digunakan oleh orang-orang Ur, Kaldan, ketika itu. Dalam bahasa Ibrani, Tarih bermakna beban yang memberatkan punggung. Kata wizr dalam bahasa Arab, memiliki makna yang sama dengan tarih dalam bahasa Ibrani tersebut. Al-Qur’an menggunakan kata ini untuk arti yang sama:

وَوَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَۙ الَّذِيْٓ اَنْقَضَ ظَهْرَكَۙ

Dan Kami telah menanggalkan darimu bebanmu, yang memberatkan punggungmu.

(As-Syarh: 2-3).

Pada beberapa kosa kata bahasa Arab, huruf wau dan hamzah dapat saling menggantikan, seperti kata akkada dengan wakkada. Oleh karenanya, kata wizr sangat mungkin berubah menjadi azar. Penjelasan yang hampir sama dapat diberikan untuk nama nabi lain. Idris as., nama seorang nabi lain yang disebutkan dalam al-Qur’an, misalnya, disebut oleh Taurat dengan nama Akhnukh.

—–

Ditulis oleh: Iqbal Harafa

Dihimpun dan Disarikan dari (1) Ibrāhīm Abū al-Anbiyā, karya ‘Abbās Mahmud al-‘Aqqād; (2) Dirāsāt Tārīkhiyyah min al-Qur’ān al-Karīm, karya Muhammad Bayūmī Mahrān; (3) Dirāsāt fī Tārīkh ay-Syarq al-Adnā al-Qadīm, Muhammad Bayūmī Mahrān; (4) Mishr wa al-Syarq al-Adabī al-Qadīm, karya ‘Abdul ‘Azīz Shālih; (5) Min I’jāz al-Qur’ān, karya Ra’ūf Abū Sa’dah; (6) Arā’is al-Majālis, karya Abū Ishāq ats-Tsa’labī; (7) Muhammad Rasulullāh wa al-ladzīna Ma’ahū, karya ‘Abdul Hamīd Jaudah as-Sahhār.

—–

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *