Sya’ban yang Terabaikan

Sebutan sya’bān berhulu ke akar kata sya’aba-yasy’abu yang arti dasarnya adalah jam’ (berhimpun) dan tafrīq (perpencar). Kedua arti yang saling bertolak belakang ini berkumpul di satu kata.

Ada dua pendapat tentang sebab penyebutan sya’bān sebagai salah satu nama bulan:

Pertama, sebutan sya’bān muncul karena suku-suku Arab di masa lalu, di bulan itu, menghimpun diri, lalu pergi menyebar ke berbagai penjuru untuk mencari sumber air. Air, di jazirah Arab yang tandus dan gersang, adalah aset yang teramat berharga.

Kedua, sebutan sya’bān muncul karena suku-suku Arab di masa lalu, di bulan itu, menghimpun para anggota suku dan persenjataan yang dimiliki, lalu pergi menyebar ke berbagai penjuru untuk membangun persekutuan dengan suku-suku lain sebagai persiapan mereka menghadapi peperangan.

Meskipun dua pendapat ini berbeda, benang merahnya tetaplah sama, yaitu bahwa sya’bān adalah bulan di mana orang-orang Arab di masa lalu melalukan persiapan, terlepas dari apa yang disiapkan itu dan untuk apa.

Selanjutnya, bagaimana Rasulullah saw. memperlakukan bulan Sya’bān?

An-Nasā’ī meriwayatkan bahwa ketika Usamah Bin Zaid ra. bertanya kepada Rasulullah saw. tentang sebab kebiasaan beliau berpuasa di bulan Sya’ban, beliau saw. menjawab:

Dzālika syahrun yaghfulun nāsu ‘anhu bayna rajab wa ramadhān, wa huwa syahrun turfa’u fīhil a’māl ilā rabbil ‘ālamīn, fauhibbu ay yurfa’a ‘amalī wa ana shāim.

“Ia (Sya’bān) adalah bulan di antara Rajab dan Ramadhan yang sering diabaikan oleh orang-orang, padahal ia adalah bulan di mana amal-amal itu diangkat ke sisi (Allah) Tuhan Pemelihara alam semesta. Maka, aku suka jika amalku diangkat dalam keadaan aku sedang berpuasa”.

Ada hal menarik dari jawaban Rasulullah saw. atas pertanyaan Usamah itu:

Pertama: Rasulullah saw. menyebut Sya’ban sebagai bulan yang sering diabaikan oleh orang-orang. Yang dimaksud dengan diabaikan di sini, bisa jadi, adalah kecenderungan umum orang banyak untuk membiarkan bulan ini berlalu tanpa mereka melakukan kebajikan lebih apapun.

Kedua: Rasulullah saw. menyebut Sya’ban sebagai bulan yang diapit oleh Rajab dan Ramadhan. Ini mengisyaratkan bahwa terabaikannya Sya’ban oleh banyak orang disebabkan oleh, seolah-olah, kedudukannya yang diapit oleh dua bulan itu.

Sabda Rasulullah saw. di atas mengisyaratkan adanya kecenderungan orang banyak mengabaikan Sya’ban hanya karena bulan itu, di hadapan mereka, tidak termasuk ke dalam kelompok bulan yang diistimewakan sebagaimana Rajab dan Ramadhan.

Rajab, sebagaimana kita ketahui, adalah satu di antara empat bulan haram. Mereka yang ingin mendapatkan pahala berlipat dari kebajikan-kebajikan lebih di bulan haram tentulah takkan menyia-nyiakan bulan Rajab ini.

Ramadhan, sebagaimana juga telah kita ketahui, adalah juga bulan yang sangat istimewa. Di bulan ini, Allah swt. mewajibkan hamba-hamba-Nya berpuasa sebulan penuh. Di bulan ini, Allah swt. menurunkan rahmat-Nya yang sangat agung, yaitu al-Qur’ānul Karīm. Di bulan ini, Allah swt. melipatgandakan pahala setiap kebaikan yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya.

Rasulullah saw., melalui sabda di atas, seolah-olah, mengingatkan kita semua agar tak menyepelekan Sya’bān dibandingkan dengan dua bulan yang mengapitnya, yaitu Rajab dan Ramadhan karena masing-masing bulan memiliki kedudukan khususnya masing-masing. Sya’bān, tegas beliau saw., adalah “bulan di mana amal-amal itu diangkat ke sisi (Allah) Tuhan Pemelihara alam semesta”.

Kebajikan-kebajikan lebih, baik ritual maupun sosial, yang biasa dilakukan di bulan-bulan haram dan bulan Ramadhan hendaknya dipertahankan hingga ke bulan-bulan lainnya, bagaimanapun kedudukan bulan-bulan lain itu. Setiap kebajikan lebih yang kita lakukan, di bulan apapun itu, memiliki kemungkinan yang sama untuk diterima oleh Allah swt. dan mendapatkan pahala sebesar-besarnya.

Itulah yang ditunjukkan oleh Rasulullah saw. Ketika berada di bulan Sya’bān. Mereson kedudukan bulan ini sebagai bulan diangkatnya setiap amal ke sisi Allah swt., beliau berpuasa lebih sering daripada di bulan-bulan lainnya di luar Ramadhan. Aisyah ra., sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim, menuturkan bahwa:

Lam arahū shāiman fī syahrin qath aktsara min shiyāmihī min sya’bān, kāna yashūmu sya’bāna kullahū, kāna yashūmu sya’bāna illā qalīlā.

“Tak pernah aku melihat beliau berpuasa di satu bulan apapun (di luar Ramadhan) sebanyak puasa beliau di bulan Sya’ban. Beliau (nyaris) berpuasa di sepanjang bulan Sya’ban. Beliau berpuasa di sepanjang bulan Sya’bān kecuali beberapa hari”.

Semoga kita bukan pengabai Sya’bān dan bulan-bulan lainnya, apalagi bulan-bulan haram dan bulan Ramadhan, dengan membiarkannya berlalu tanpa ada kebajikan lebih apapun yang kita lakukan di dalamnya.

Wallāhu a’lamu bish shawāb.

Allāhumma a’innā ‘alā dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibādatik.

Wa shallāllāhu ‘alā sayyidinā muhammadin wa ‘alā ālihi wa shahbihī ajma’īn.

Walhamdulillāhi rabbil ‘ālamīn.

Penulis:
Al-Ustādz Iqbal Harafa, Ketua Pengurus Yayasan Pesantren Daarul Uluum, Bogor.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *