Apakah arti yatim?
Kata yatim adalah kosa kata bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Arab, yaitu yatīm. Bentuk jamaknya adalah yatāmā atau aytām.
Kata yatīm merupakan turunan dari akar kata yatama-yaytamu-yutman yang artinya lemah, letih, atau terputus.
Kata yatīm, secara umum, menunjuk ke segala sesuatu yang sendirian, segala sesuatu yang tidak ada taranya, segala sesuatu yang tidak ada bandingannya, atau segala sesuatu yang sangat berharga.
Dalam bahasa Arab, ada istilah durrah yatīmah, yang artinya mutiara yang yatim. Disebut durrah yatīmah jika ia adalah sebutir mutiara yang tidak ada duanya atau tidak ada bandingannya. Ia mutiara yang unik. Karena itu, ia adalah mutiara yang sangat berharga. Jadi, yang dimaksud dengan durrah yatīmah itu adalah mutiara yang sangat berharga.
Siapakah yang disebut dengan yatim?
Yang disebut dengan yatim, secara khusus, menurut para ulama fikih, adalah anak belum balig yang ditinggal wafat ayahnya. Setelah anak itu mencapai usia balig, ia tak lagi disebut yatim.
Nabi saw., dalam riwayat at-Thabrānī, bersabda “Lā yutma ba’dahtilām” yang artinya “Tidak ada keyatiman setelah (seorang anak mengalami) mimpi basah”.
Apakah disebut yatim juga seorang anak yang ibunya wafat?
Seorang anak belum balig yang ibunya wafat tidak disebut yatim. Sebutan ini khusus ditujukan kepada anak belum balig yang ayahnya wafat.
Meskipun demikian, ada juga ulama yang berpendapat bahwa sebutan yatim ditujukan baik kepada anak belum balig yang ayahnya wafat maupun ibunya wafat. Namun, pendapat ini tidaklah populer.
Perlu diketahui bahwa sebutan yatim ini, di dunia hewan, ditujukan kepada anak hewan yang ditinggal mati induk betinanya.
Jadi, di dunia hewan juga ada anak yatim?
Ya.
Di dunia hewan, yatim adalah sebutan untuk anak hewan yang induk betinanya mati, bukan induk jantannya.
Di dunia hewan, peran induk jantan itu tak lebih dari membuahi induk betina. Ketika anaknya lahir, segala sesuatu terkait anak itu diurus oleh induk betinanya hingga anaknya itu dewasa dan mandiri. Saat anak hewan belum dewasa, tidak ada masalah jika induk jantannya mati, namun menjadi masalah jika induk betinanya yang mati.
Mengapa anak belum balig yang ayahnya wafat sampai disebut yatim?
Ada tiga hal yang membuat anak itu disebut yatim, yaitu (1) keterputusan dirinya dengan ayah karena ayahnya itu wafat, (2) kesendirian anak itu setelah ayahnya wafat, (3) keadaan dirinya yang masih kecil dan belum dewasa.
Karena usia yang masih belia, fisik sang anak yatim itu, tentulah, masih lemah. Ia belum dapat menjaga dan melindungi dirinya sendiri. Ia pun belum dapat bekerja atau berikhtiyar untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, baik pakaian, makanan, maupun tempat tinggal.
Setiap anak adalah, bagaikan, mutiara yang sangat berharga bagi orang tuanya. Keterputusan seorang anak dengan ayahnya membuat mutiara yang sangat berharga itu menjadi terbengkalai. Maka, Rasulullah saw., seolah-olah, mendorong kita agar segera memungut mutiara yang sangat berharga itu, lalu merawatnya dengan perawatan terbaik yang kita mampu.
Apa yang semestinya kita lakukan terhadap anak yatim?
Berbuat ihsan kepadanya, yaitu melakukan kebaikan plus sesuai dengan kemampuan kita.
Kita berikan perhatian besar dan sungguh-sungguh kepadanya, kita tunjukkan simpati dan welas asih kepadanya, dan kita santuni dan bermurah hati kepadanya.
Allah swt., dalam surah adh-Dhuhā, 98:9, berfirman “Fa ammal yatīma falā taqhar” yang artinya “Dan, adapun (terhadap) anak yatim, maka janganlah engkau (Nabi Muhammad saw.) berlaku sewenang-wenang”.
Nabi saw. bersabda bahwa “Man masaha ra’sa yatīmin lam yahsahhu illā lillāh, kāna lahū bikulli sya’ratin marrat ‘alayhā yaduhū hasanāt” yang artinya “Barangsiapa mengusap kepala anak yatim sementara ia tidak mengusapnya kecuali karena Allah, maka baginya limpahan kebaikan untuk setiap rambut yang diusap tangannya itu”. Demikian tersebut dalam riwayat Ahmad.
Nabi saw., dalam riwayat al-Bukhārī, pun bersabda bahwa “Ana wa kāfilul yatīmi fīl jannati kahātain, wa asyāra biusbu’ayhi as-sabābati wal wusthā” yang artinya “Aku dan penanggung (penjamin) anak yatim itu, di surga, seperti ini”, sambil beliau tunjukkan jari telunjuk dan jari manis”.
Tindakan kita mengusap rambut kepala seorang anak yatim berganjar demikian banyak pahala. Kebaikan yang banyak itu, bahkan, Allah berikan untuk setiap helai rambut yang kita usap.
Jika tindakan kita mengusap rambut kepala saja berpahala sangat besar, maka apalagi jika yang kita lakukan terhadap anak yatim itu adalah kafālah, yaitu menjadikan diri kita sebagai penjamin dan penanggungnya.
Menjadi kāfil adalah kebaikan paling utama yang dianjurkan Rasulullah saw. kepada kita terkait dengan anak yatim. Dengan menjadi kāfilul yatīm atau penjamin dan penanggung anak yatim berarti menjadikan diri kita sebagai pihak yang memberikan kepada anak itu segala sesuatu yang sewajarnya ia dapat dari seorang ayah, seperti perlindungan, kasih sayang, pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, maupun papan, serta pendidikan.
Ringkasnya, kita disebut kāfilul yatīm manakala kita menempatkan anak yatim menjadi, seolah-olah, anak kandung kita sendiri. Kita berikan kepadanya segala sesuatu yang seharusnya ia dapat dari seorang ayah kecuali hal-hal yang dilarang oleh syariat, seperti penisbatan nama ayah kandung anak yatim itu kepada nama kita dan sejumlah hal lain yang dilarang.
Jadi, benang merah dari berbagai anjuran syariat terkait dengan anak yatim ini adalah: Janganlah sekali-kali kita membiarkan seorang anak yatim terbengkalai. Dan, jika kita menjadi penjamin dan penanggung anak yatim, janganlah sekali-kali kita melakukan kezaliman kepadanya.
Jika kita hanya mampu mengusap lembut rambut kepalanya, maka lakukanlah. Jika kita hanya mampu memberinya makan, lakukanlah. Jika kita mampu memberinya pakaian, lakukanlah.
Namun, jika kita mampu menjadikannya seolah-olah anak kandung kita sendiri sehingga kita bisa secara penuh menjadi penjamin dan penanggungnya, maka lakukanlah. Nabi saw. menjanjikan kita akan hidup berdekatan dengan beliau, kelak, di surga. In syāallāh.
Itulah yang dilakukan oleh ‘Abdul Muththalib terhadap cucunya, yaitu Muhammad Rasulullah saw., ketika beliau masih kecil. Itu pulalah yang kemudian dilakukan oleh Abū Thālib, sang paman, terhadap diri beliau ketika kakek beliau wafat.
Allah swt., dalam surah adh-Dhuhā, 93:6, berfirman “Alam yajidka yatīman fa’āwā” yang artinya “Bukankah Dia mendapatimu (sebagai) seorang yatim (yang membutuhkan perlindungan), lalu Dia melindungimu?”.
Apa hubungan antara anak yatim dan bulan Muharram?
Muharram adalah salah satu dari empat bulan haram yang diagungkan Allah, yaitu Dzū al-Qa’dah, Dzū al-Hijjah, Rajab, dan Muharram.
Di bulan-bulan haram, termasuk bulan Muharram, kita dianjurkan memperbanyak amal kebajikan, baik ritual maupun sosial, seperti berpuasa, bersedekah, dan lain sebagainya. Di antara amal kebaikan itu, tentu saja, adalah meningkatkan amal kebaikan kita kepada anak-anak yatim.
Khusus di bulan Muharram, kita disunnahkan melakukan puasa Tāsū’ā, yaitu puasa di hari kesembilan, dan puasa ‘Āsyūrā, yaitu puasa di hari kesepuluh. Al-Imām Asy-Syāfi’ī menganjurkan pula kita berpuasa pula di hari ke al-Hādi ‘Āsyar, yaitu hari kesebelas.
Apa keistimewaan 10 Maharram, yaitu hari Asyura, sampai kita dianjurkan berpuasa dan memperbanyak amal baik?
Disebutkan dalam sejumlah riwayat bahwa 10 Muharram, dalam sejarah kenabian, merupakan hari yang sangat penting. Ia adalah hari diangkatnya berbagai kesulitan yang dialami oleh para nabi.
Nabi Adam as., misalnya, diriwayatkan bertaubat kepada Allah karena melanggar perintah Allah di surga. Allah swt., kemudian, menerima taubat beliau pada tanggal 10 Muharram. Diriwayatkan bahwa kapal Nabi Nuh as. berlabuh di bukit Judi pada tanggal 10 Muharram. Pada tanggal itu pula Allah swt. menyelamatkan Nabi Ibrahim as. dari api yang membakarnya, membebaskan Nabi Yusuf as. dari penjara Mesir karena fitnah, mengeluarkan Nabi Yunus as. dari perut ikan yang menelannya, menyembuhkan Nabi Ayyub as. dari berbagai penyakit menjijikkan yang dideritanya, dan menyelamatkan Nabi Musa as. dan Bani Israil dari kejaran Fir’aun di Laut Merah.
Orang-orang Quraisy di masa jahiliah dahulu, karena itu, memiliki kebiasaan berpuasa pada tanggal 10 Muharram. Rasulullah saw. pun turut pula berpuasa pada tanggal itu.
Setelah hijrah ke Madinah, Rasulullah saw. mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada tanggal 10 Muharaam. Saat mereka ditanya apa alasannya, mereka menjawab bahwa hari itu, yaitu 10 Muharram, adalah hari di mana Allah membebaskan Nabi Musa as. dan Bani Israil dari kejaran Fir’aun. Sebagai tanda kesyukuran kepada Allah swt., Nabi Musa berpuasa pada hari itu.
Merespon jawaban orang-orang Yahudi itu, Rasulullah saw., dalam riwayat al-Bukhārī, bersabda “Ana awlā bimūsā mihum” yang artinya “Aku lebih berhak dari mereka terhadap Musa”. Maka, beliaupun berpuasa di hari itu dan memerintahkan para sahabat untuk berpuasa pula.
Hanya setelah turun perintah berpuasa di bulan Ramadhan, Rasulullah saw., dalam riwayat al-Bukhārī, bersabda “Fa man syā’a ay yashūmahū fal yashumhu, wa man syā’a ay yatrukahū fal yatrukhu” yang artinya “Barangsiapa ingin berpuasa di hari Asyura, maka berpuasalah di hari itu, dan barangsiapa ingin meninggalkannya, maka tinggalkanlah”.
Mengapa 10 Muharram, yaitu hari Asyura, disebut pula Lebaran Yatim?
Telah dijelaskan di atas sekian banyak anjuran agar kita meningkatkan amal baik, ritual maupun sosial, baik di bulan-bukan haram secara umum, di bulan Muharram secara khusus, dan di tanggal 10 Muharram atau hari Asyura secara lebih khusus lagi.
Terkait dengan hari Asyura ini, sebagian masyarakat kita mengenalnya sebagai “Lebaran Yatim”. Yang dimaksud lebaran yatim di sini adalah memberikan perhatin lebih besar kepada anak yatim pada hari Asyura dibandingkan dengan hari-hari lain.
Terkait dengan praktek masyarakat ini, ada riwayat yang menguatkannya.
Al-Imām as-Samarqandī, misalnya, menyampaikan dalam Tanbīh al-Ghāfilīn bahwa Rasulullah saw. bersabda “Man masaha yadahū ‘alā ra’sil yatīmi yawma ‘āsyūra, rafa’allāhu ta’ālā lahū bikulli sya’ratin darajah” yang artinya “Barangsiapa mengusapkan tangannya ke kepala seorang anal yatim di hari Asyura, niscaya Allah Ta’alā mengangkatnya satu derajat untuk setiap helai rambut (yang diusapnya itu)”.
Ada ulama yang mengartikan ajuran “mengusap kepala” anak yatim ini dalam pengertian apa adanya, yaitu benar-benar mengusap kepala anak yatim sebagai wujud welas asih dan kasih sayang, ada pula yang mengartikannya lebih luas dari itu, yaitu melakukan segala kebaikan kepadanya sesuatu dengan kemampuan kita.
Jadi, tak ada masalah dengan praktek “Lebaran Yatim” ini. Meningkatkan amal baik di bulan-bulan haram secara umum dan di bulan Muharram secara khusus memang dianjurkan. Itu, tentu saja, termasuk memberi perhatian lebih kepada anak yatim, baik di di semua bulan haram, khusus di buklan Muharram, maupun lebih khusus lagi di hari Asyura atau tanggal 10 Muharram.
Yang tidak tepat dan harus diluruskan adalah jika kita berpikir bahwa syariat hanya menganjurkan kita meningkatkan amal baik kepada anak yatim itu di tanggal 10 Muharram atau di hari Asyura saja.
Wallāhu a’lam.
———
AL-USTADZ IQBAL HARAFA
Pengasuh Pesantren Daarul Uluum
Bogor
———-